JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Agung (MA) tidak memberikan batas waktu kepada pemerintah untuk membayar ganti rugi sebesar Rp 3,9 triliun kepada korban kerusuhan Maluku tahun 1999.
"Masalah eksekusi, semuanya tergantung pemerintah mengalokasikan anggarannya," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah di Gedung MA, Jakarta Pusat, (19/8/2019).
MA juga tak berwenang melakukan pengawasan apakah pemerintah membayarkan ganti rugi tersebut atau tidak. Abdullah menegaskan, kewenangan MA hanya berhenti pada putusan perkara.
"(Dalam amar putusan), enggak ada (soal pengawasan). Yang namanya putusan, ya sesuai dengan yang diminta saja, sesuai dengan permohonan," kata dia.
Baca juga: Pemerintah Wajib Bayar Rp 3,9 Triliun ke Korban Kerusuhan Maluku 1999
Selain itu, Abdullah menambahkan, bentuk ganti rugi kepada korban kerusuhan Maluku tahun 1999 tidak harus berupa uang tunai.
Ganti rugi juga dapat dibayarkan dalam bentuk pembangunan kembali fasilitas umum yang rusak akibat kerusuhan. Apabila begitu, tentu pemerintah harus menganggarkan dana terlebih dahulu.
"Jadi jangan diartikan membayar langsung tunai. Tetapi pemerintah pasti akan mengalokasikan anggaran untuk membangun kembali. Tanpa diperintah oleh siapapun, pemerintah pasti membangun," ujar Abdullah.
Sebelumnya, MA menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) pemerintah soal gugatan class action (gugatan perwakilan kelompok) yang diajukan korban kerusuhan Maluku tahun 1999.
Baca juga: MA Sebut Ganti Rugi Korban Kerusuhan Maluku Rp 3,9 Triliun Tak Harus Tunai
Artinya, pemerintah harus menjalankan perintah putusan pengadilan tingkat pertama, yakni memberikan ganti rugi sebesar Rp 3,9 triliun kepada korban kerusuhan sebagai penggugat.
"Ditolak oleh MA oleh karena alasan-alasan yang diajukan oleh pemerintah dalam PK dalam gugatan class action tidak beralasan menurut hukum, dengan keputusan itu maka keputusan kasasi tetap berlaku," kata Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro saat dihubungi Kompas.com, Senin (19/8/2019).
Gugatan kelompok ini mewakili 213.217 Kepala Keluarga korban kerusuhan.
Para perwakilan korban kerusuhan itu menggugat 11 petinggi negara, yaitu Presiden RI, Menko Kesra, Mensos, Menko Perekonomian, Menteri Bappenas, Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal, Menko Polhukam, Menteri Keuangan, Gubernur Maluku, Gubernur Maluku Utara dan Perwakilan Pemda Maluku, Maluku Utara dan Sulawesi Tenggara.