Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

DPR Dinilai Berperan dalam Tersendatnya Penuntasan Kasus HAM Masa Lalu

Kompas.com - 10/01/2019, 10:56 WIB
Kristian Erdianto,
Krisiandi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dinilai memiliki andil terkait tidak berjalannya agenda penuntasan kasus-kasus pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) masa lalu.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai selama ini DPR tak berperan dalam mendorong lahirnya Keputusan Presiden (Keppres) untuk menuntaskan kasus HAM masa lalu.

"Dua-duanya, baik partai oposisi maupun pemerintah itu tidak mendorong lahirnya Keppres untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat di masa lalu," ujar Usman saat menjadi narasumber di acara Satu Meja yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (9/1/2019).

Usman menjelaskan, dalam mekanisme pembentukan pengadilan HAM ad hoc, presiden harus mengeluarkan Keppres sebagai landasan hukum.

Sementara penerbitan Keppres membutuhkan rekomendasi DPR.

Namun, selama ini DPR tidak pernah membuat rekomendasi untuk mendorong Presiden Joko Widodo menerbitkan Keppres pembentukan pengadilan HAM ad hoc.

"Pelanggaran berat HAM di masa lalu itu mensyaratkan Keppres dan rekomendasi dari DPR," kata Usman.

Seperti diketahui, pada masa kampanye Pilpres 2014, Jokowi berkomitmen menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu dan menghapus impunitas. Komitmen tersebut juga tercantum dalam visi, misi, dan program aksi yang dikenal dengan sebutan Nawa Cita.

Baca juga: Amnesty Indonesia: Teror ke Pimpinan KPK, Serangan Terhadap Pembela HAM

Salah satu poin dalam sembilan agenda prioritas Nawa Cita, Jokowi berjanji akan memprioritaskan penyelesaian secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu.

Kemudian Jokowi juga menegaskan komitmennya untuk menyelesaikan delapan kasus pelanggaran HAM masa lalu disebutkan pula delapan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang menjadi beban sosial politik.

Kedelapan kasus tersebut adalah kasus kerusuhan Mei 1998, Kasus Trisaksi, Semanggi I, Semanggi II, kasus penghilangan paksa, kasus Talangsari, Tanjung Priuk, dan Tragedi 1965.

Kompas TV Unjuk rasa membela Muslim Uighur berlangsung di depan Kedutaan Besar Tiongkok di Kuningan, Jakarta Selatan. Para pengunjuk rasa memprotes tindakan represif yang dilakukan Pemerintah Tiongkok terhadap warga etnis Uighur. Pengunjuk rasa mengecam tindakan Pemerintah Tiongkok yang berusaha menghilangkan simbol-simbol keagamaan yang dimiliki oleh warganya. Terutama yang bermukim di daerah Xinjiang. Sebagian warga bahkan diambil paksa oleh pihak keamanan untuk menjalani "pelatihan politik". Pemerintah Tiongkok dituntut membebaskan warganya memilih keyakinan sesuai dengan isi Hak Asasi Manusia yang disepakati oleh dunia internasional. Tindakan represif pemerintah Tiongkok juga mendapat perhatian dari Wakil Presiden Jusuf Kalla. JK menyatakan keprihatinanya terhadap nasib warga Muslim Uighur di Tiongkok. Dan meminta Kedubes Indonesia di Beijing untuk memeriksa kebenaran informasi yang beredar mengenai nasib warga Muslim di sana.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

14 Negara Disebut Akan Ambil Bagian dalam Super Garuda Shield 2024

14 Negara Disebut Akan Ambil Bagian dalam Super Garuda Shield 2024

Nasional
Khofifah Ingin Duet dengan Emil Dardak, Gerindra: Kami Akan Komunikasi dengan Partai KIM

Khofifah Ingin Duet dengan Emil Dardak, Gerindra: Kami Akan Komunikasi dengan Partai KIM

Nasional
Wamenkeu Sebut Pemilu 2024 Berkontribusi Besar Dorong Pertumbuhan Ekonomi

Wamenkeu Sebut Pemilu 2024 Berkontribusi Besar Dorong Pertumbuhan Ekonomi

Nasional
Mensos Risma Janjikan 3 Hal kepada Warga Kabupaten Sumba Timur

Mensos Risma Janjikan 3 Hal kepada Warga Kabupaten Sumba Timur

Nasional
SYL Renovasi Rumah Pribadi, tapi Laporannya Rumah Dinas Menteri

SYL Renovasi Rumah Pribadi, tapi Laporannya Rumah Dinas Menteri

Nasional
Jaksa KPK Sebut Nilai Total Gratifikasi dan TPPU Gazalba Saleh Capai Rp 62,8 M

Jaksa KPK Sebut Nilai Total Gratifikasi dan TPPU Gazalba Saleh Capai Rp 62,8 M

Nasional
Ratas Evaluasi Mudik, Jokowi Minta 'Rest Area' Diperbanyak

Ratas Evaluasi Mudik, Jokowi Minta "Rest Area" Diperbanyak

Nasional
Dugaan TPPU Hakim Gazalba Saleh: Beli Alphard, Kredit Rumah Bareng Wadir RSUD di Jakarta

Dugaan TPPU Hakim Gazalba Saleh: Beli Alphard, Kredit Rumah Bareng Wadir RSUD di Jakarta

Nasional
Anggota Bawaslu Intan Jaya Mengaku Disandera KKB Jelang Pemilu, Tebus Ratusan Juta Rupiah agar Bebas

Anggota Bawaslu Intan Jaya Mengaku Disandera KKB Jelang Pemilu, Tebus Ratusan Juta Rupiah agar Bebas

Nasional
Dalam Sidang MK, KPU Ungkap Kontak Senjata TNI-OPM Jelang Hitung Suara, Satu Warga Sipil Tewas

Dalam Sidang MK, KPU Ungkap Kontak Senjata TNI-OPM Jelang Hitung Suara, Satu Warga Sipil Tewas

Nasional
Sinyal Kuat Eko Patrio Bakal Jadi Menteri Prabowo

Sinyal Kuat Eko Patrio Bakal Jadi Menteri Prabowo

Nasional
Yakin 'Presidential Club' Sudah Didengar Megawati, Gerindra: PDI-P Tidak Keberatan

Yakin "Presidential Club" Sudah Didengar Megawati, Gerindra: PDI-P Tidak Keberatan

Nasional
Taruna STIP Meninggal Dianiaya Senior, Menhub: Kami Sudah Lakukan Upaya Penegakan Hukum

Taruna STIP Meninggal Dianiaya Senior, Menhub: Kami Sudah Lakukan Upaya Penegakan Hukum

Nasional
Gejala Korupsisme Masyarakat

Gejala Korupsisme Masyarakat

Nasional
KPU Tak Bawa Bukti Noken pada Sidang Sengketa Pileg, MK: Masak Tidak Bisa?

KPU Tak Bawa Bukti Noken pada Sidang Sengketa Pileg, MK: Masak Tidak Bisa?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com