JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris menilai, pidana tambahan berupa pencabutan hak dipilih kembali bagi kepala daerah atau wakil rakyat yang terbukti korupsi sudah tepat dan perlu dilakukan.
Hal itu dikatakan Syamsuddin menanggapi hukuman pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih kembali bagi koruptor.
“Saya kira pidana tambahan berupa pencabutan hak dipilih dalam Pilkada dan Pemilu perlu dilakukan agar ada efek jera bagi koruptor,” ujar Syamsuddin kepada Kompas.com, Rabu (19/9/2018).
Baca juga: KPK Apresiasi Vonis Pencabutan Hak Politik Marianus Sae
Pencabutan hak untuk dipilih kembali, kata Syamsuddin, diharapkan agar masyarakat memiliki pemimpin dan wakil rakyat yang berintegritas serta lebih mengutamakan kepentingan publik.
“Yang menjadi pejabat publik benar-benar mengabdi kepada kepentingan publik, bukan mengambil atau mencuri yang bukan haknya,”kata Syamsuddin.
Menurut Syamsuddin, perlu ada jeda dalam jangka waktu tertentu bagi terpidana kasus korupsi agar hak dipilih bisa pulih kembali.
“Jeda waktu bisa 5 sampai 10 tahun sesuai dengan masa hukuman bagi yang bersangkutan. Jika misalnya dipidana 20 tahun, maka hak dipilih yang bersangkutan bisa pulih setelah jeda waktu 10 tahun,” tutur Syamsuddin.
Diberitakan sebelumnya, Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah, menuturkan, sepanjang tahun 2013-2017, pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) telah mencabut hak politik 26 koruptor yang terbukti terlibat dalam kasus korupsi.
Baca juga: KPK: Hak Politik 26 Koruptor Dicabut Sepanjang 2013-2017
"26 orang tersebut ada yang menjabat sebagai ketua umum dan pengurus parpol, anggota DPR dan DPRD, kepala daerah serta jabatan lain yang memiliki risiko publik besar jika menjadi pemimpin politik," kata Febri dalam keterangan tertulisnya, Selasa (18/9/2018).