Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Kalau Ada Kader Parpol Ditangkap KPK, Artinya Tak Ada Reformasi Internal"

Kompas.com - 11/06/2018, 13:16 WIB
Kristian Erdianto,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter tak sepakat dengan anggapan bahwa banyaknya kepala daerah yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disebabkan oleh gagalnya sistem pencegahan korupsi negara.

Ia menilai seharusnya parpol justru memilki andil terkait upaya pencegahan korupsi.

"Bicara soal sistem pencegahan negara, parpol sendiri sudah pernah membuat pakta integritas dengan KPK," ujar Lola saat dihubungi, Senin (11/6/2018).

Menurut Lola, masih banyaknya kepala daerah atau kader parpol tersangkut kasus korupsi menunjukkan tidak adanya reformasi internal parpol.

Baca juga: PDI-P Duga OTT KPK di Tulungagung dan Blitar Politis

Reformasi internal terkait mekanisme perekrutan, kata Lola, seharusnya dilakukan sebagai tindak lanjut penandatanganan pakta integritas.

"Kalau ada anggota parpol tertentu yang masih tertangkap itu justru menunjukkan tidak ada reformasi internal yang terjadi di tubuh parpol, seperti misalnya mekanisme perekrutan kader atau calon kepala daerah," ucapnya.

Ia mengatakan, setiap parpol sepatutnya mereformasi mekanisme perekrutan kader agar lebih transparan dan akuntabel.

Dengan begitu, parpol mampu menghasilkan calon-calon pemimpin yang bersih dan berintegritas.

"Parpol sepatutnya juga ikut melakukan pencegahan tindak pidana korupsi, salah satunya dengan melakukan reformasi internal," kata Lola.

Baca juga: ICW Tidak Heran PDI-P Tuduh KPK Politis Terkait OTT di Tulungagung dan Blitar

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menduga ada kepentingan politik dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK yang menjaring dua kadernya, Bupati Tulungagung Syahri Mulyo dan Wali Kota Blitar Muhammad Samanhudi.

Sebab, kedua kader PDI-P itu disebut memiliki elektabilias tertinggi dan dianggap sebagai pemimpin yang mengakar.

Menurut Hasto, jika yang dilakukan KPK sudah sesuai prosedur, maka banyaknya pejabat daerah yang terkena OTT tidak hanya membuat pemerintahan daerah menjadi pincang. Ia juga menyoroti kegagalan sistem pencegahan korupsi negara.

"Sekiranya yang dilakukan KPK sudah sesuai prosedur, tidak ada kepentingan lain kecuali niat mulia untuk memberantas korupsi tanpa kepentingan demi agenda tertentu, maka banyaknya pejabat daerah yang terkena OTT tidak hanya membuat pemerintahan daerah pincang," kata Hasto.

Baca juga: OTT Blitar dan Tulungagung Dinilai Politis, Ini Tanggapan Pimpinan KPK

"Tetapi lebih jauh lagi, hal tersebut sudah menyentuh aspek yang paling mendasar, yakni kegagalan sistem pencegahan korupsi negara," ucap dia.

Kedua kepala daerah tersebut sempat diminta KPK menyerahkan diri atas dugaan kasus korupsi.

Mereka sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait pengadaan barang dan jasa di Tulungagung dan Blitar. Kedua kepala daerah itu diduga menerima suap dari pengusaha yang sama, yaitu Susilo Prabowo.

Samanhudi akhirnya menyerahkan diri dengan datang ke Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jakarta, Jumat (8/6/2018) malam.

Sementara, Syahri disebut menyerahkan diri Sabtu sekitar pukul 21.30 WIB.

Kompas TV Empat orang yang ditangkap KPK di Tulungagung dan Blitar akhirnya dibawa ke Jakarta untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com