JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso menceritakan keterlibatannya dalam meredam kerusuhan Mei 1998.
Saat kerusuhan pecah, Sutiyoso yang saat itu menjabat gubernur penasaran dengan apa yang menjadi pemicunya. Sutiyoso menceritakan, eskalasi kerusuhan mencapai puncaknya pada 13-14 Mei 1998.
Kala kerusuhan memuncak, Sutiyoso pun mendatangi pos pengamanan kerusuhan di samping Markas Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) di Jakarta.
Baca juga: Cerita Wartawan "Kompas" Jelang Runtuhnya Kekuasaan Soeharto...
"Di situ saya ketemu Pangdam Jaya Mayjen Syafrie (Syamsudin) dan (Letnan) Jenderal Prabowo (Subianto) juga karena Kostrad kan di sebelahnya. Kami berdiskusi lalu kami bertiga naik helikopter untuk memantau kondisi Ibu Kota," kata Sutiyoso dalam acara Satu Meja di Kompas TV, Senin (21/5/2018) malam.
Ia menambahkan, saat itu suhu politik tengah memanas. Jakarta dipenuhi penjarahan dan pembakaran di sejumlah tempat.
Menurut Sutiyoso, penjarahan yang terjadi disebabkan kesenjangan sosial di masyarakat Jakarta.
Kerusuhan itu berbuntut pada banyaknya warga etnis Tionghoa yang menjadi korban.
Baca juga: Amien Rais: Hanya Satu Menteri yang Setia Dampingi Soeharto hingga Lengser
Selaku gubernur, Sutiyoso turut meredam aksi penjarahan dan pembakaran yang menyasar properti milik warga etnis Tionghoa.
Ia mendatangi permukiman yang banyak dihuni etnis Tionghoa. Sutiyoso mencoba memotivasi mereka agar tak takut menghadapi penjarah.
"Karena itu saya datangi tempat yang banyak etnis Tionghoa, saya ceritakan masalahnya, saya motivasi mereka agar harga diri kembali. Berani melawan," lanjut Sutiyoso.
Kerusuhan di Jakarta memakan banyak korban. Tak terhitung jumlah kerugian. Para mahasiswa pun bergerak menuntut Presiden Soeharto mundur dari jabatannya.
Akibat desakan itu, Pada 21 Mei 1998 Soeharto menyerahkan kekuasaannya kepada Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Gerakan reformasi memaksa Soeharto jatuh.