JAKARTA, KOMPAS.com - Gerakan reformasi yang menuntut Presiden Soeharto mundur semakin besar pada bulan Mei 1998, tepat 20 tahun silam. Tuntutan ini makin bergema setelah Soeharto kembali terpilih sebagai presiden dalam Sidang Umum MPR pada 1-11 Maret 1998.
Namun, aparat keamanan bersikap represif dalam menangani demonstrasi mahasiswa kala itu. Aksi kekerasan yang dilakukan aparat keamanan itu misalnya yang dilakukan pada 2 Mei 1998, saat mahasiswa mulai bergerak ke luar kampus Universitas Indonesia di Salemba dan IKIP Jakarta di Rawamangun (sekarang Universitas Negeri Jakarta).
Bahkan, pada 8 Mei 1998, mahasiswa Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta bernama Moses Gatutkaca tewas setelah aparat keamanan bersikap represif dalam membubarkan demonstrasi menuntut Soeharto mundur. Moses tewas akibat pukulan benda tumpul.
Kekerasan aparat keamanan dalam menangani demonstrasi mahasiswa kembali terjadi pada 12 Mei 1998.
Dalam menangani aksi demonstrasi di depan kampus Universitas Trisakti, aparat kini menembaki mahasiswa dengan peluru karet hingga peluru tajam. Akibatnya, empat mahasiswa Trisakti tewas dan lebih dari 200 mahasiswa terluka dalam Tragedi Trisakti itu.
Baca juga: 20 Tahun Tragedi Trisakti, Apa yang Terjadi pada 12 Mei 1998 Itu?
Catatan kelam dalam sejarah bangsa pun terjadi sehari kemudian. Pada 13 Mei 1998, terjadi kerusuhan bernuansa rasial yang mengakibatkan Jakarta dan sejumlah kota besar lumpuh.
Gedung-gedung dibakar, rumah dan kendaraan dirusak. Properti milik masyarakat Tionghoa menjadi sasaran amuk massa.
Demonstrasi tak terhenti
Meski demikian, kerusuhan itu tidak mengalihkan tuntutan reformasi. Para mahasiswa tetap bergerak menuntut Presiden Soeharto mundur dari jabatannya, dan mulai menguasai gedung DPR/MPR pada 18 Mei 1998.
Meski demikian, Soeharto tetap bertahan.
Dilansir dari dokumentasi Kompas, Soeharto yang berada di Mesir saat kerusuhan Mei terjadi dan baru pulang pada 15 Mei 1998, mulai bertemu sejumlah tokoh. Jenderal yang Tersenyum itu bersedia mendengarkan aspirasi sejumlah tokoh yang dia percaya.
Pada 19 Mei 1998 misalnya, Soeharto bertemu dengan tokoh seperti Abdurrahman Wahid, Nurcholis Madjid, Emha Ainun Nadjib, serta Malik Fadjar.
Akan tetapi, usai pertemuan Soeharto mengusulkan dibentuknya Komite Reformasi untuk melaksanakan pemerintahan transisi sebelum pergantian kepemimpinan.
Baca juga: Kisah Soeharto Ditolak 14 Menteri dan Isu Mundurnya Wapres Habibie...