INDONESIA kembali berduka.
Satu pekan kelabu ketika kelompok narapidana teroris berusaha menguasai Mako Brimob dan terjadinya serangan kelompok teroris pada misa pagi hari di Gereja Santa Maria Tak Bercela Jalan Ngagel Utara, GKI Diponegoro, dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Sawahan, Jawa Timur.
Peristiwa ini bukan hanya melukai puluhan warga serta mengorbankan jiwa lima anggota Brimob dan 10 warga negara, melainkan juga melukai kedaulatan Negara Republik Indonesia.
Peristiwa ini sangat memprihatinkan karena sekelompok narapidana terorisme telah maju selangkah dengan agenda kekerasan mereka.
Baca juga: Jika pada Juni RUU Antiterorisme Belum Selesai, Jokowi Terbitkan Perppu
Pada kasus Mako Brimob, terlepas dari ada beberapa prosedur yang harus diperbaiki, Polri telah berhasil menguasai situasi dalam waktu 40 jam dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM). Polri berhasil mencegah eskalasi kerusuhan meluas ke permukiman warga.
Namun, apakah lantas masalah ini tuntas? Sama sekali tidak.
Intoleransi sebagai wacana sel-sel tidur
Pada 11 Mei 2018, atau sehari setelah polisi menguasai Mako Brimob, salah satu anggota intelijen Brimob kembali menjadi korban penusukan oleh oknum yang diduga pelaku kasus terorisme.
Screenshot percakapan perencanaan penyerangan Mako Brimob oleh anggota kelompok di sebuah grup aplikasi beredar di media sosial.
Tujuan penyerangan ini sebenarnya bukan membunuh anggota Polri, melainkan membangunkan sel-sel tidur radikalisme di Indonesia.
Pada Sabtu (12/5/2018), dua perempuan diduga ditangkap di sekitar Mako Brimob dan diinterogasi oleh Polri. Mereka berniat menusuk kembali anggota Brimob. Keduanya dilengkapi dengan gunting dan secarik kertas doa untuk mencuci otak mereka.
Pada Minggu (13/5/2018), tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur, mendapat serangan bom bunuh diri. Pelaku penyerangan diduga merupakan satu keluarga.
Perempuan dan anak-anak yang diperalat sebagai "pengantin" atau menjadi bagian dari operasi terorisme telah diprediksi sejak pertengahan tahun lalu di salah satu studi Institute Policy Analysis of Conflict (IPAC).
Baca juga: Jokowi Kecam Bom Mapolrestabes Surabaya sebagai Tindakan Biadab
Namun, temuan ini diabaikan dan belum direspons dengan baik hingga sekarang. Pemerintah dan masyarakat harus waspada dan tidak menyepelekan indikasi-indikasi intoleransi di keseharian mereka.