JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Informasi dan Komunikasi Badan Intelijen Negara Wawan Purwanto menyebut bahwa generasi milenial paling rentan dipengaruhi konten hoaks.
Sebab, rentang usia tersebut terbilang paling banyak mengonsumsi informasi di media sosial melalui gadget-nya.
"Generasi milenial paling rentan bahaya hoaks," ujar Wawan dalam diskusi di Jakarta, Rabu (14/3/2018).
Wawan mengatakan, Facebook menjadi sumber berita utama bagi masyarakat berusia 18 hingga 24 tahun dengan tingkat akurasi rendah. Jika masyarakat tidak kritis dalam menerima informasi tertentu, maka ia bisa menelan mentah-mentah hoaks yang beredar.
"Pemberitaan yang salah seringkali menampilkan judul yang menggugah emosi sehingga menarik minat pembaca," kata Wawan.
(Baca juga: Meski Darurat Hoaks, Kebebasan dalam Berdemokrasi Tak Bisa Dilarang)
Di era post truth, kata Wawan, fakta tidak lagi terlalu berpengaruh dalam membentuk opini ketimbang emosi dan keyakinan personal.
Artinya, penyebar hoaks memiliki pengaruh yang besar daripada fakta yang sebenarnya. Oleh karena itu, perlu sikap kritis mulai dari memilah tautan gambar atau teks di media sosial untuk dipercaya dan disebarkan lagi.
"Pengguna internet yang tidak waspada dengan hoaks dengan mudah menyebarkan ke temannya di medsos sehingga memunculkan efek bola salju yang menggelinding makin besar," kata dia.
Dalam hal ini, media mainstream memiliki peranan besar untuk menepis konten-konten hoaks. Wawan mengatakan, sedianya media massa menjadi pihak yang meluruskan pemberitaan hoaks.
Namun, belakangan banyak ditemukan media mainstream yang ikut-ikutan menyebarkan informasi hoaks yang berseliweran di media sosial.
"Bukan justru menjadi ruang untuk mengamplifikasi kebohongan tersebut," kata Wawan.