JAKARTA, KOMPAS.com — Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) mendapatkan nomor urut 2 sebagai peserta Pemilu 2019. Gerindra akan bersaing memperebutkan suara pemilih dengan 13 parpol lainnya.
Bicara soal Gerindra, tak bisa dilepaskan dari sosok pendiri sekaligus ketua umumnya, Prabowo Subianto.
Dua kali Gerindra mengusung Prabowo pada Pemilihan Presiden (Pilpres). Pada Pilpres 2009, Prabowo maju sebagai calon wakil presiden bersama Megawati Soekarnoputri. Pasangan ini kalah dari Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.
Pada Pilpres 2014, Prabowo mencalonkan diri sebagai presiden bersama Hatta Rajasa. Lagi-lagi, ia harus mengakui kemenangan pesaingnya, Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Dua kali Prabowo menelan kekalahan dan Gerindra bertahan menjadi partai oposisi.
Sejarah
Gerindra didirikan mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Letjen Prabowo Subianto dan orang-orang di lingkarannya.
Baca juga: Gerindra Nomor Urut 2, Fadli Zon Sebut "V for Victory"
Dikutip dari partaigerindra.or.id, ide lahirnya Gerindra didorong rasa keprihatinan atas kondisi bangsa.
Pada November 2007, dalam sebuah perjalanan menuju Bandara Soekarno-Hatta, terjadi obrolan antara Fadli Zon dan pengusaha yang juga adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo.
Keduanya sepakat bahwa harus lahir sebuah partai baru untuk mengubah kondisi di Indonesia.
Gagasan pendirian partai kemudian diwacanakan di lingkaran orang-orang Hashim dan Prabowo.
Namun, tidak semua setuju. Ada yang menolak. Alasannya, jika ingin ikut terlibat dalam proses politik, sebaiknya ikut saja pada partai politik yang ada.
Kebetulan, Prabowo saat itu adalah anggota Dewan Penasihat Partai Golkar sehingga bisa mencalonkan diri maju menjadi ketua umum.
Namun, saat itu, Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla adalah wakil presiden yang mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
"Mana mau Jusuf Kalla memberikan jabatan Ketua Umum Golkar kepada Prabowo?" kata Fadli.
Baca juga: Kader Gerindra Tunggu Kesediaan Prabowo Maju Pilpres 2019
Setelah perdebatan cukup panjang dan alot, akhirnya disepakati perlu ada partai baru yang benar-benar memiliki manifesto perjuangan demi kesejahteraan rakyat.
Untuk mematangkan konsep partai, pada Desember 2007, di sebuah rumah, yang menjadi markas Institute for Policy Studies di Bendungan Hilir, berkumpullah sejumlah nama.
Selain Fadli Zon, hadir pula Ahmad Muzani, M Asrian Mirza, Amran Nasution, Halida Hatta, Tanya Alwi, dan Haris Bobihoe.
Mereka membicarakan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) partai yang akan dibentuk.
"Pembahasan dilakukan siang dan malam," kenang Fadli.