Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Neni Nur Hayati
Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership

Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia. Anggota Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Kampanye dan Pilkada Demokratis, Mungkinkah Terwujud?

Kompas.com - 19/02/2018, 20:12 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PEMILIHAN kepala daerah dan wakil kepala daerah serentak tahun 2018, yang diikuti 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten, sudah memasuki tahapan kampanye. Tahap ini dimulai  pada 15 Februari sampai dengan 23 Juni 2018.

Calon kepala daerah yang sudah ditetapkan oleh KPU harus mematuhi seluruh aturan perundang-undangan yang berlaku selama masa kampanye.

Kampanye merupakan wujud dari pendidikan politik masyarakat yang dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab, berlandaskan prinsip jujur, terbuka dan dialogis. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 4 Tahun 2017 Pasal 4 (empat).

Sejatinya, proses kampanye yang akan berlangsung selama 4 bulan lebih itu mampu memberikan pendidikan politik yang cerdas kepada masyarakat untuk meningkatkan partisipasi pemilih.

Namun sayang, fakta dari pilkada ke pilkada menunjukkan bahwa kampanye selalu dijadikan ajang kontestasi yang tidak sehat.

Kontestasi politik yang terjadi pada pilkada sebelumnya selalu diwarnai dengan temuan berbagai macam hal pelanggaran di antaranya kampanye hitam (black campaign), politisasi SARA, netralitas aparatur sipil negara, dan politik uang (money politics).

Para calon kepala daerah kerap menggunakan dan menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan.

Hal ini tentu sangat mencederai hakikat negara Indonesia sebagai negara demokrasi yang berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Padahal, prinsip ini seharusnya menjadi pijakan kuat dalam membangun sistem demokrasi dan memberikan fasilitas kepada rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang memiliki hak pilih pada suasana yang kondusif melalui kampanye sehat dan damai.

Money politics

Undang–Undang Nomor 10 Tahun 2016  Pasal 71 ayat 1 sudah sangat jelas menyebutkan bahwa calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih.

Jika money politik dilakukan, berdasarkan putusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), pelakunya dapat dikenai sanksi administrasi sebagai calon dan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai hukum tetap dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan perundang–undangan.

Akan tetapi, aturan ini acapkali dilanggar oleh calon untuk memengaruhi dan menggiring pilihan serta opini masyarakat dalam memilih calon tertentu.

Pada Pilkada 2015, tercatat ada pelanggaran money politics pada tahapan kampanye di urutan tertinggi dibandingkan dengan pelanggaran yang lainnya.

Fakta hari ini membuktikan bahwa dari calon gubernur, bupatim dan wali kota pada 2004–2017, sudah ada 313 kepala daerah yang menjadi tersangka kasus korupsi.

Yang lebih memilukan lagi, ada beberapa calon kepala daerah, yang sudah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum pada 12 Februari 2018, terjerat operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Apabila kita set back pada tahapan pencalonan, publik diramaikan dengan pemberitaan isu "mahar politik" yang terjadi di beberapa daerah.

Hal ini yang harus kita waspadai karena jika sedari awal proses penjaringan bakal calon saja sudah menggunakan politik uang, maka tentu pada tahapan kampanye serta pemungutan dan penghitungan suara tidak menutup kemungkinan ada upaya meraih kekuasaan dengan cara-cara kotor.

Politik uang tidak hanya diartikan dalam bentuk uang, tetapi juga materi lain yang berupa bingkisan misalnya atau suvenir bahan kampanye lain yang jumlahnya melebihi Rp 25.000.

Hal ini biasanya dinilai efektif untuk mempengaruhi calon pemilih. Kadangkala masyarakat yang awam tidak mengenal bahwa hal ini adalah politik uang. Sehingga mereka menerima saja apa yang diberikan. Pemilu sebelumnya ada jargon "ambil uangnya, jangan pilih orangnya".

Namun, regulasi sekarang tentunya berbeda, bahwa yang menerima dan yang memberi akan dikenai sanksi. Sanksi tersebut akan diberikan tergantung pada pemenuhan unsur formil dan materiilnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jokowi Resmikan 40 Kilometer Jalan Inpres Senilai Rp 211 Miliar di NTB

Jokowi Resmikan 40 Kilometer Jalan Inpres Senilai Rp 211 Miliar di NTB

Nasional
Jokowi Akan Resmikan Bendungan dan Panen Jagung di NTB Hari ini

Jokowi Akan Resmikan Bendungan dan Panen Jagung di NTB Hari ini

Nasional
Meski Isyaratkan Merapat ke KIM, Cak Imin Tetap Ingin Mendebat Prabowo soal 'Food Estate'

Meski Isyaratkan Merapat ke KIM, Cak Imin Tetap Ingin Mendebat Prabowo soal "Food Estate"

Nasional
Setelah Jokowi Tak Lagi Dianggap sebagai Kader PDI-P...

Setelah Jokowi Tak Lagi Dianggap sebagai Kader PDI-P...

Nasional
Pengertian Lembaga Sosial Desa dan Jenisnya

Pengertian Lembaga Sosial Desa dan Jenisnya

Nasional
Prediksi soal Kabinet Prabowo-Gibran: Menteri Triumvirat Tak Diberi ke Parpol

Prediksi soal Kabinet Prabowo-Gibran: Menteri Triumvirat Tak Diberi ke Parpol

Nasional
Jokowi Dianggap Jadi Tembok Tebal yang Halangi PDI-P ke Prabowo, Gerindra Bantah

Jokowi Dianggap Jadi Tembok Tebal yang Halangi PDI-P ke Prabowo, Gerindra Bantah

Nasional
Soal Kemungkinan Ajak Megawati Susun Kabinet, TKN: Pak Prabowo dan Mas Gibran Tahu yang Terbaik

Soal Kemungkinan Ajak Megawati Susun Kabinet, TKN: Pak Prabowo dan Mas Gibran Tahu yang Terbaik

Nasional
PKS Siap Gabung, Gerindra Tegaskan Prabowo Selalu Buka Pintu

PKS Siap Gabung, Gerindra Tegaskan Prabowo Selalu Buka Pintu

Nasional
PKB Jaring Bakal Calon Kepala Daerah untuk Pilkada 2024, Salah Satunya Edy Rahmayadi

PKB Jaring Bakal Calon Kepala Daerah untuk Pilkada 2024, Salah Satunya Edy Rahmayadi

Nasional
Saat Cak Imin Berkelakar soal Hanif Dhakiri Jadi Menteri di Kabinet Prabowo...

Saat Cak Imin Berkelakar soal Hanif Dhakiri Jadi Menteri di Kabinet Prabowo...

Nasional
Prabowo Ngaku Disiapkan Jadi Penerus, TKN Bantah Jokowi Cawe-cawe

Prabowo Ngaku Disiapkan Jadi Penerus, TKN Bantah Jokowi Cawe-cawe

Nasional
Orang Dekat Prabowo-Jokowi Diprediksi Isi Kabinet: Sjafrie Sjamsoeddin, Dasco, dan Maruarar Sirait

Orang Dekat Prabowo-Jokowi Diprediksi Isi Kabinet: Sjafrie Sjamsoeddin, Dasco, dan Maruarar Sirait

Nasional
Prabowo Diisukan Akan Nikahi Mertua Kaesang, Jubir Bilang 'Hoaks'

Prabowo Diisukan Akan Nikahi Mertua Kaesang, Jubir Bilang "Hoaks"

Nasional
Momen Jokowi dan Menteri Basuki Santap Mie Gacoan, Mentok 'Kepedasan' di Level 2

Momen Jokowi dan Menteri Basuki Santap Mie Gacoan, Mentok "Kepedasan" di Level 2

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com