JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari menyoroti sejumlah peraturan perundangan yang berimbas pada penguatan peran lembaga DPR RI secara berlebihan.
Peraturan perundangan itu, mulai dari disahkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (MD3) hingga terus dibahasnya Rancangan KUHP di DPR.
"Serangkaian ini saya lihat, DPR ini sedang membangun oligarkinya. DPR ini menjadi lembaga yang luar biasa, powerful," ujar Feri dalam diskusi di Kantor Sekretariat Indonesia Legal Roundtable (ILR), Jakarta Selatan, Kamis (15/2/2018).
Baca juga: UU MD3 Dinilai Jauhkan DPR dari Kritik Terkait Korupsi
Melalui Pasal 73 UU MD3, DPR berhak memanggil siapa saja untuk dihadirkan dalam rapat di DPR.
Ketentuan pasal itu dinilai melampaui tugas dan wewenang DPR. Tidak hanya menjalankan fungsi legislasi, pengawasan, dan penganggaran, DPR dianggap seperti melakukan penegakan hukum.
Baca juga: UU MD3 Dikecam Publik, Agung Laksono Anggap Kurang Sosialisasi
"DPR juga anti-kriminalisasi. Begitu dia tersangkut kasus, aparat penegak hukum mau memanggil dia, harus izin MKD dan atas persetujuan Presiden dahulu (Pasal 245). Ini apa lagi kalau bukan powerful?" ujar Feri.
Melalui Pasal 122 huruf k, DPR juga bisa menyeret masyarakat umum ke ranah hukum jika melakukan perbuatan yang patut diduga merendahkan martabat DPR dan anggota DPR.
Baca juga: Menyelami UU MD3, Di Mana Logikanya?
Apalagi, ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebutkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) termasuk dalam objek hak angket di DPR RI.
Putusan itu seolah mengukuhkan oligarki DPR di dalam sendi kehidupan bernegara di Indonesia.
"Putusan MK yang terakhir itu seperti mengukuhkan oligarki DPR. Artinya lembaga independen pun juga bisa dihak-angketkan," ujar Feri.