JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Nasdem Taufiqulhadi menilai bahwa pasal penghinaan terhadap presiden harus diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Menurut Taufiqulhadi, pasal tersebut bertujuan untuk melindungi kewibawaan presiden.
"Tapi itu memang harus ada perlindungan pada kewibawaan kepala pemerintahan," ujar Taufiqulhadi kepada wartawan, Jumat (2/2/2018).
"Kebetulan kepala pemerintahan itu kepala negara. Jadi kalau misalnya kita tidak hormati, kalau kita hina ini bagaimana," ujar dia.
(Baca juga: Pernah Dibatalkan MK, Pasal Penghinaan Presiden Muncul Lagi di RKUHP)
Politisi Partai Nasdem itu menuturkan, figur seorang pemimpin meski bukan simbol negara tetap harus dihormati.
Di sisi lain, kata Taufiqulhadi, seorang presiden merupakan hasil dari pemilu yang dipilih langsung oleh masyarakat.
Oleh sebab itu, harus ada aturan hukum yang mengatur soal penghinaan terhadap presiden.
"Karena itu harua diatur bangsa yang beradab dia pasti akan menghormati orang yang menjadi pemimpin karena kalau dia (masyarakat) tidak bisa menghargai orang menjadi pemimpin sebenarnya bangsa itu sudah gagal," tuturnya.
"Kita memilih presiden kemudian kita hina kan sama saja menghina kita sendiri," kata Taufiqulhadi.
(Baca juga: Jika Substansi Pasal Penghinaan Presiden Sama Maka akan Kembali Dibatalkan MK)
Berdasarkan Pasal 263 draf RKUHP hasil rapat antara pemerintah dan DPR per 10 Januari 2018, seseorang yang menyebarluaskan penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dapat dipidana penjara paling lama lima tahun.
Namun, konten yang disebarluaskan tidak bisa dikategorikan sebagai penghinaan apabila dilakukan untuk kepentingan umum, demi kebenaran dan pembelaan diri.
Hal tersebut ditegaskan sebagai upaya untuk melindungi kebebasan berekspresi dalam berdemokrasi.
Padahal, sebelumnya Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 013-022/PUU-IV/2006 pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Permohonan uji materi tersebut diajukan oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis. MK menilai Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang amat rentan manipulasi.