Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Proses Kode Etik Fredrich Yunadi, Peradi Bisa Tunggu Putusan Pengadilan

Kompas.com - 19/01/2018, 11:49 WIB
Ihsanuddin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Pidana Universitas Andalas Mahmud Mulyadi menilai Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) tidak harus buru-buru melakukan pemeriksaan kode etik terhadap anggotanya, Fredrich Yunadi.

Sebab, Fredrich saat ini tengah menjalani proses hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Mahmud mengatakan, pemeriksaan etik terhadap Fredrich bisa dilakukan setelah proses hukum di KPK selesai yang ditandai dengan putusan pengadilan.

"Masalah kode etik bisa dilakukan sebelum atau setelah sidang, bisa. Kalau Fredrich sudah diproses, dihukum, itu lebih memudahkan Peradi untuk menyidangkan kode etik untuk memberhentikan dan mencabut keanggotaan," kata Mahmud kepada Kompas.com, Jumat (19/1/2018).

Sebelumnya, dua anggota Komisi Pengawas Peradi mendatangi Kantor KPK. Keduanya mengaku ingin menyampaikan surat untuk meminta audensi dan klarifikasi kepada KPK.

(Baca juga: Peradi Sesalkan KPK Tak Mau Kerja Sama soal Kasus Fredrich Yunadi)

Namun, Ketua Dewan Pembina Peradi Otto Hasibuan menyesalkan keinginan pihaknya tak digubris oleh KPK.

 

Mahmud mengatakan, KPK memiliki hak untuk menolak permintaan Peradi. Ia meyakini KPK juga mempunyai pertimbangan sendiri kenapa menolak permintaan Peradi.

"Mungkin KPK lagi menjaga, karena orang sedang berusaha membesarkan itu (yang dilakukan Fredrich) hak imunitas seorang lawyer. Takutnya mengganggu (penyidikan)," kata Mahmud.

Mahmud sendiri berpendapat bahwa yang dilakukan Fredrich tidak lagi diatur dalam hak imunitas seorang pengacara.

Sebab, Fredrich diduga merintangi penyidikan KPK terhadap kliennya, Setya Novanto, dalam kasus dugaan korupsi e-KTP.

Fredrich diduga bekerjasama dengan dokter RS Permata Hijau Bimanesh Sutardjo untuk merekayasa kesehatan Novanto.

"Kalau sudah merekayasa menghalangi. Bukan kerja advokat lagi," kata dia.

Kompas TV Fredrich Yunadi mengajukan gugatan praperadilan melawan komisi pemberantasan korupsi. Gugatan didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Kamis (18/1).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Soal 'Presidential Club' Prabowo, Bamsoet Sebut Dewan Pertimbangan Agung Bisa Dihidupkan Kembali

Soal "Presidential Club" Prabowo, Bamsoet Sebut Dewan Pertimbangan Agung Bisa Dihidupkan Kembali

Nasional
KPK Periksa Dirut Nonaktif PT Taspen Antonius Kosasih

KPK Periksa Dirut Nonaktif PT Taspen Antonius Kosasih

Nasional
KPU Ungkap 13 Panitia Pemilihan di Papua Tengah yang Tahan Rekapitulasi Suara Berujung Dipecat

KPU Ungkap 13 Panitia Pemilihan di Papua Tengah yang Tahan Rekapitulasi Suara Berujung Dipecat

Nasional
Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen, Jokowi: Negara Lain Masuk Jurang, Kita Naik

Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen, Jokowi: Negara Lain Masuk Jurang, Kita Naik

Nasional
Eks Anak Buah SYL Beri Tip untuk Paspampres, Gratifikasi Disebut Jadi Kebiasaan

Eks Anak Buah SYL Beri Tip untuk Paspampres, Gratifikasi Disebut Jadi Kebiasaan

Nasional
TPN Resmi Dibubarkan, Hasto Tegaskan Perjuangan Tetap Dilanjutkan

TPN Resmi Dibubarkan, Hasto Tegaskan Perjuangan Tetap Dilanjutkan

Nasional
Kelakar Jokowi soal Kemungkinan Pindah Parpol Usai Tak Dianggap PDI-P

Kelakar Jokowi soal Kemungkinan Pindah Parpol Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
 Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Nasional
Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Nasional
RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

Nasional
 Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Nasional
Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Nasional
Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang 'Toxic', Jokowi: Benar Dong

Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang "Toxic", Jokowi: Benar Dong

Nasional
Ganjar Harap Buruknya Pilpres 2024 Tak Dikloning ke Pilkada

Ganjar Harap Buruknya Pilpres 2024 Tak Dikloning ke Pilkada

Nasional
Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pengamat Intelijen: Masyarakat Harus Beri Dukungan untuk Perbaikan

Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pengamat Intelijen: Masyarakat Harus Beri Dukungan untuk Perbaikan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com