JAKARTA, KOMPAS.com - Peraturan Mahkamah Agung (MA) tentang perkara perdata perlu disempurnakan.
Salah satu pertimbangannya, karena zaman sudah berkembang begitu pesat.
Peneliti hukum bisnis dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Muhammad Faiz Aziz mengatakan, salah satu aturan perkara perdata yang perlu diperbaiki yaitu cakupan domisili pihak berperkara.
"Sekarang ini gugatan bisa disampaikan hanya di pengadilan sesuai domisili," ujarnya di Jakarta, Selasa (16/1/2018).
Menurut dia, aturan ini tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat saat ini. Misalnya, untuk perkara perdata jual beli online, maka ketentuan domisili tidak lagi relevan.
"Ini akan jadi problem saat perkara jual beli online yang tentu saja sudah lintas kota," kata dia.
Baca juga: Babak Baru Reformasi Hukum Indonesia...
Selain itu, PSHK juga menilai, perlu ada perubahan aturan perkara perdata terkait jangka waktu eksekusi.
Saat ini, kata Faiz, putusan pengadilan terkait perkara perdata tidak dibarengi dengan batas waktu yang jelas soal eksekusinya. Pengadilan hanya menyerahkan eksekusi perkara perdata kepada pihak yang berperkara.
PSHK menyarankan agar MA mencontoh Malaysia dan Filipina yang langsung mewajibkan eksekusi perkara perdata dilakukan setelah ada keputusan pengadilan.
"Sehingga aset yang ada di pihak lain itu akan segera kembali ke pihak yang menang," kata dia.
Baca juga: Reformasi Hukum Jilid II, dari Penataan Aturan hingga Bantuan Hukum
Saran perbaikan lainnya juga mencakup nilai gugatan perkara perdata Rp 200 juta. Angka itu dinilai terlalu kecil sehingga perlu ada perubahan.
Terakhir, PSHK mengingatkan perlunya reformasi hukum perdata di Indonesia karena hukum perdata di Indonesia saat ini adalah warisan masa kolonial belanda.
Selama 20 tahun reformasi, PSHK menilai, reformasi hukum belum menyentuh hukum perdata, namun lebih banyak menyentuh hukum pidana.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.