JAKARTA, KOMPAS.com - Ombudsman Republik Indonesia melakukan kajian dengan mencermati proses pra penempatan buruh migran Indonesia.
Kajian dilakukan pada Juni sampai September 2017, dengan data dari wilayah pengirim dan juga wilayah transit pekerja migran yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kepulauan Riau dan DKI Jakarta.
Komisioner Ombudsman Ninik Rahayu mengatakan, hasilnya ditemukan malaadministrasi pada proses pra penempatan pekerja buruh migran.
Hasil kajian ini dipaparkan bertepatan dengan hari Migran Internasional yang diperingati setiap 19 Desember.
Malaadministrasi tersebut terdapat pada 6 tahap yaitu, perekrutan, pengurusan dokumen, pendidikan dan pelatihan, pemeriksaan kesehatan dan psikologis, perjanjian kerja, dan pembekalan akhir penempatan (PAP) buruh migran.
Bentuk malaadministrasi yang terjadi dari hasil temuan Ombudsman RI berupa penyimpangan prosedur, tidak kompeten, permintaan imbalan, tidak memberikan pelayanan, penyalahgunaan wewenang dan perilaku tidak patut terhadap migran.
Dalam hal penempatan ke luar negeri misalnya, lanjut Ninik, buruh migran tidak dibekali informasi yang tidak cukup mengenai bagaimana seseorang bekerja ke luar negeri.
Buruh migran juga tidak dibekali tes kesehatan dan tes psikologis yang utuh.
"Padahal penting untuk siap lahir batin kerja jauh dari keluarga. Tantangannya enggak mudah, karena ada perbedaan budaya," kata Ninik, dalam jumpa pers di kantor Ombudsman RI, Jalan Rasuna Said Kuningan, Jakarta, Selasa (19/12/2017).
Jenis pekerjaan, hak dan kewajiban migran, juga tidak jelas karena masih ditemukan buruh migran tidak membuat kontrak kerja.
Potensi Perdagangan Orang
Kondisi buruh migran yang berada di tempat penampungan dan pelatihan menurut dia menyulitkan pemerintah untuk memberikan perlindungan.
"Ombudsman pernah sidak tempat penampungan yang enggak lagi sebagaimana yang diamanatkan undang-undang tentang pekerja migran. Dibuat seadanya bahkan terkesan seperti penjara. Mereka enggak punya akses ke luar, dibatasi," ujar Ninik.
Akibat hal ini, lanjut Ninik, terdapat potensi tindak pidana perdagangan orang dalam pra penempatan pekerja migran.
"Hasil kajian di beberapa wilayah, korban banyak dari NTT, Jatim, ini wilayah proses rekruitmen yang tak terlindungi besar," ujar Ninik.