JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Maarif Institute Muhammad Abdullah Darraz mengatakan, saat ini generasi muda dihadapkan pada persoalan masifnya penyebaran konten negatif melalui internet dan media sosial.
Tak bisa dipungkiri, sebagai pengguna internet, generasi muda atau generasi milenial rentan menjadi korban dari paparan konten negatif tersebut berupa berita bohong alias hoaks, ujaran kebencian, paham radikalisme, dan ekstremisme.
"Saat ini kita menghadapi tantangan radikalisme ekstremisme termasuk terorisme yang masuk melalu gadget dan memengaruhi generasi muda," ujar Darraz saat berbicara dalam penutupan rangkaian pelatihan "#1nDONEsia: Cerdas Bermedia Sosial" di UOB Plaza, Jakarta Pusat, Jumat (8/12/2017).
Oleh sebab itu, Darraz menilai perlu adanya upaya untuk membangun kesadaran kritis di kalangan generasi muda terhadap konten-konten negatif yang menyebar di media sosial.
(Baca juga: Cegah Konten Negatif Pengaruhi Anak, KPAI Harap Kominfo Buat Regulasi Baru)
Darraz juga menekankan soal internalisasi nilai-nilai utama bangsa Indonesia, yakni kebinekaan dan toleransi.
"Dua hal itu signifikan, menyiapkan siswa-siswa dalam menghadapi ancaman," ucapnya.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Kebijakan Publik dan Hubungan Pemerintahan Google Indonesia, Shinto Nugroho mengatakan, literasi media sangat diperlukan untuk memenuhi konten sosial media dengan konten yang positif.
Diharapkan, generasi muda khususnya pelajar tidak hanya menjadi konsumen, melainkan juga menjadi produsen konten positif.
"Literasi media tersebut adalah upaya untuk memenuhi konten sosial media dengan konten positif. Hal ini membuat pelajar tidak hanya menjadi konsumen namun juga menjadi produsen konten positif," ujar Shinto.
(Baca juga: Bentuk 'Mudamudigital', Kemenkominfo Libatkan Mahasiswa Hantam Hoaks)
Adapun pelatihan konten video positif yang digagas YouTube Creators for Change dan Maarif Institute bertujuan untuk memberdayakan generasi muda lewat kreasi video positif bernilai toleransi dan keberagaman.
Program tersebut telah melatih lebih dari 2.000 siswa dari 100 SMA/SMK di 10 kota, yakni Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Medan, Surabaya, Semarang, Bali, Pontianak, Ambon, dan Makassar.