JAKARTA, KOMPAS.com - Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) meminta Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menunda pelaksanaan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM AHU-30.AH.01.08 tahun 2017.
Surat tersebut merupakan dasar hukum atas pembubaran HTI.
"Sampai dengan adanya keputusan yang berkekuatan hukum tetap," ujar kuasa hukum HTI, Yusril Ihza Mahendra, saat membacakan gugatan di ruang sidang PTUN, Jakarta, Kamis (23/11/2017).
Dalam gugatannya, HTI menyatakan bahwa pencabutan status badan hukum telah membuat kegiatan dakwah dan pendidikan HTI menjadi terhenti total. Hal itu dinilai sebagai kerugian immateriil.
Selain itu, HTI mengatakan, pencabutan status badan hukumnya telah menimbulkan intimidasi kepada para anggotanya yang dimuat dibeberapa media massa. Misalnya, berita yang menyebut pegawai swasta yang terlibat HTI akan diberikan sanksi.
(Baca juga: Gugat Keputusan Pemerintah, HTI Sampaikan 41 Alasan di PTUN)
Bahkan, HTI dalam gugatannya juga menyatakan ada pihak-pihak yang mendesak pemerintah untuk menjatuhkan sanksi pidana kepada pengurus HTI.
"Ini menimbulkan situasi yang tidak nyaman bagi penggugat (HTI)," kata Yusril.
(Baca juga: HTI Akan Kembali Gugat ke MK setelah Perppu Jadi UU Ormas)
Sementara itu, kuasa hukum Kementerian Hukum dan HAM Hafzan Taher mengatakan bahwa berbagai alasan yang disampaikan HTI di ruang sidang hanya bagian dari argumentasi penggugat saja.
Hafzan memastikan, pemerintah sebagai pihak tergugat akan melakukan pematahan argumen-argumen yang disampaikan oleh Yusril.
"Tidak sekarang, nanti akan kami jelaskan secara terinci," kata dia.
Pihak pemerintah meminta waktu dua minggu untuk menjawab gugatan penggugat, namun majelis hakim hanya memberikan waktu seminggu.
Sidang selanjutnya akan digelar pada 30 November 2017 dengan agenda pembacaan tanggapan Tergugat.