JEMBER, KOMPAS.com - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Yasonna Laoly mengatakan bahwa penataan regulasi di Indonesia penting dilakukan.
Menurut Yasonna, Presiden Joko Widodo menaruh perhatian besar terhadap upaya penataan regulasi di Indonesia agar dapat mendukung pembangunan perekonomian nasional.
"Ada sebagian kalangan yang masih berpendapat bahwa pemerintah seakan hanya fokus pada pembangunan infrastruktur dan kurang perhatian pada sektor lain seperti reformasi hukum," kata Yasonna saat membuka Konferensi Nasional Hukum Tata Negara (KNHTN) ke-4 di Aula Pemerintah Kabupaten Jember, Jawa Timur, Jumat (10/11/2017) malam.
"Sebagai Menteri Hukum dan HAM perlu saya jelaskan bahwa Presiden Jokowi juga sangat memberikan perhatian pada aspek reformasi dan pembangunan hukum," tambah dia.
Yasonna mengatakan, Presiden Jokowi ingin ada upaya penataan regulasi dengan cara merampingkan regulasi dan merasionalkan pembentukan regulasi baru.
"Semua upaya Presiden tersebut menunjukkan bahwa Presiden sangat memahami bahwa pembangunan ekonomi mustahil dapat berjalan baik jika hukumnya tidak ditata dengan baik," kata dia.
"Penataan regulasi penting untuk selalu dilaksanakan merefleksikan makna Indonesia adalah negara hukum, yang tercantum dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945," tambah Yasonna.
(baca: Presiden Jokowi: Ada Lebih dari 42.000 Regulasi, Coba, Pusing Tidak?)
Yasonna mengungkapkan tantangan pengelolaan regulasi di Indonesia. Pertama, terjadi obesitas regulasi baik di tingkat pusat dan daerah yang dapat menghambat target kemudahan berinvestasi dan efektifitas pelayanan publik.
"Kondisi saat ini, menunjukkan kurang lebih kurang lebih 62.000 peraturan tersebar di berbagai instansi. Itu menyebabkan ketidakharmonisan, tidak sinkron dan tumpang tindih peraturan yang satu dengan yang lain," kata dia.
Kedua, masih ditemukan ketidakharmonisan peraturan di tingkat pusat, utamanya jenis peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh kementerian/lembaga.
Hal itu ia sadari karena sesuai UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tidak ada kewajiban untuk melakukan harmonisasi dalam pembentukan peraturan menteri atau peraturan lembaga.
"Padahal seringkali ditemukan pengaturan yang ada dalam Permen atau peraturan lembaga substansinya sangat terkait dengan kewenangan kementerian/ peraturan lembaga lainnya," ungkap Yasonna.
(baca: Jokowi: 3.143 Perda Bermasalah Telah Dibatalkan)
Ketiga, keberadaan peraturan daerah yang tidak sinkron dan tidak harmonis dengan regulasi yang lebih tinggi baik dari segi substantif maupun teknik penyusunan peraturan perundang-undangan.