JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi VIII DPR Sodik Mudjahid meminta pemerintah untuk menyikapi secara proporsional dan cermat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal status administrasi penghayat kepercayaan.
"Pemerintah perlu hati-hati dan cermat serta proporsional dalam memperlakukan aliran kepercayaan dalam berbagai atribut kenegaraan dan pemerintahan," ujar Sodik melalui keterangan tertulis, Kamis (9/11/2017).
Ia meminta seluruh umat beragama memaklumi bahwa putusan MK diambil berdasarkan kajian hukum dan konstitusi yang berlaku di NKRI dan bukan berdasarkan kajian berbasis akidah, syariah atau hukum agama.
Baca juga : Sudah Diakui, Penghayat Kepercayaan Belum Ubah Kolom Agama di KTP
Dengan basis kajian tersebut, kata dia, maka posisi penghayat kepercayaan bukan lah agama dan tak setingkat dengan agama. Sehingga pada Kartu Tanda Penduduk, pemerintah tetap mencantunkan "agama/aliran kepercayaan", tak hanya mengisi penghayat kepercayaan dalam kolom agama.
Sodik menambahkan, dalam konteks pembinaan, kata dia, penghayat kepercayaan berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
"Dalam pembinaan masyarakat aliran kepercayaan bisa diteruskan dalam naungan Dirjen kebudayaan Kemendikbud dan bukan dalam nauangan Kementerian Agama," kata Politisi Partai Gerindra itu.
"Jika tugas pembinaan akan diserahkan kepada Kemenag, maka cukup dibentuk organ level direktur pembinaan Aliran Kepercayaan dibawah Dirjen Hindu," ujarnya.
Baca juga : VIDEO: Sukacita Penghayat Kepercayaan Setelah Hak Asasinya Dipulihkan MK
Dalam putusannya, Majelis Hakim MK berpendapat bahwa kata “agama” dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan.
Artinya, penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama yang diakui pemerintah, dalam memperoleh hak terkait administrasi kependudukan.
"Majelis Hakim mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Kedua, menyatakan kata 'agama' dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk aliran kepercayaan," ujar Ketua MK Arief Hidayat.
Baca juga : UU Adminduk Akan Direvisi Pasca-Putusan MK soal Penghayat Kepercayaan
Selain itu, MK memutuskan pasal 61 Ayat (2) dan pasal 64 ayat (5) UU Adminduk bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
MK menyatakan bahwa status penghayat kepercayaan dapat dicantumkam dalam kolom agama di KK dan e-KTP tanpa perlu merinci aliran kepercayaan yang dianutnya.
Hal tersebut diperlukan untuk mewujukan tertib administrasi kependudukan mengingat jumlah penghayat kepercayaan dalam masyarakat Indonesia sangat banyak dan beragam.