JAKARTA, KOMPAS.com - Widyaiswara Badan Diklat Kejaksaan, Adnan Paslyadja, menganggap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum menemui jalan buntu jika kalah dalam proses praperadilan yang diajukan tersangka.
KPK, kata dia, bisa menetapkan kembali tersangka yang digugurkan statusnya oleh hakim praperadilan.
"Bisa diajukan kembali (sebagai tersangka) sepanjang diperbaiki putusan hakim. Misalnya dianggap tidak sah penetapannya karena apa. Kalau diperbaiki yang tidak sahnya, menjadi benar," ujar Adnan dalam sidang praperadilan Setya Novanto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (27/9/2017).
Adnan mencontohkan, penetapan tersangka dianggap tidak sah karena barang bukti yang didapat tidak sah.
Baca: Beredar Foto Setya Novanto di RS, KPK Minta Bantuan Pemeriksaan IDI
Dengan demikian, penyidikan bisa kembali dilakukan dengan penerbitan surat perintah penyidikan baru dan alat bukti baru di luar bukti yang tidak sah.
"Wewenangnya hanya hakim yang menganggap alat bukti cukup atau tidak," kata Adnan.
Sebelumnya, diatur dalam Pasal 83 ayat 2 KUHAP yang mengatur kewenangan penyidik serta penuntut umum mengajukan banding putusan praperadilan.
Namun, Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan Peraturan MA Nomor 4 Tahun 2016 yang menyatakan bahwa putusan praperadilan dilarang, banding, kasasi, maupun PK tertanggal 26 April 2016.
Dengan demikian, penegak hukum tak bisa lagi mengajukan banding. Menurut Adnan, cara lainnya yakni dengan menerbitkan sprindik baru dengan alat bukti baru yang sah.
Baca juga: Soal Pemeriksaan, KPK Tunggu Kesehatan Setya Novanto Membaik
Setya Novanto mengajukan gugatan praperadilan atas penetapan tersangka oleh KPK pada kasus korupsi pengadaan KTP elektronik atau e-KTP.
Dia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 17 Juli 2017 lalu.
Ketua Umum Partai Golkar itu diduga menguntungkan diri atau orang lain atau korporasi dan menyalahgunakan kewenangan dan jabatan, pada kasus e-KTP. /
Novanto sewaktu menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR diduga ikut mengatur agar anggaran proyek e-KTP senilai Rp 5,9 triliun disetujui oleh anggota DPR.
Selain itu, Novanto diduga mengondisikan pemenang lelang dalam proyek e-KTP.
Bersama pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, Novanto diduga ikut menyebabkan kerugian negara Rp 2,3 triliun.