JAKARTA, KOMPAS.com - Delapan belas tahun Maria Catarina Sumarsih bersama keluarga korban tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II (TSS) serta para aktivis HAM berjuang mencari keadilan atas hilang/meninggalnya sanak/saudara dan keluarga mereka.
Rezim dan pemerintahan silih berganti, namun hingga kini penyelesaian kasus pelanggaran HAM TSS tak kunjung tuntas.
"Saya berpendapat pemerintah Indonesia mengulur-ulur penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Menunggu keluarga korban meninggal satu per satu," kata Sumarsih dalam sebuah diskusi mengenang 18 Tahun Semanggi, di Universitas Atma Jaya Jakarta, Selasa (20/8/2017).
Sumarsih adalah ibu dari korban tragedi Semanggi I bernama Bernardinus Realino Norma Irmawan atau Wawan, mahasiswa Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Jakarta.
Sumarsih mengatakan, perjuangan keluarga korban dan para aktivis HAM berada di dalam perjalanan perjuangan keadilan yang sangat sunyi.
(Baca: Aksi Kamisan ke-493, Sumarsih Tidak Lelah)
"Tapi yang harus kita ingat, kalau kasus-kasus pelanggaran HAM tidak diselesaikan, maka tindak kekerasan akan terus berulang, kekuasaan penguasa tidak terkontrol oleh rambu-rambu penegakan HAM, dan akan lahir lagi pemerintahan yang otoriter," ucap Sumarsih.
Telah banyak upaya yang dilakukan keluarga korban dan para aktivis. Penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) sudah selesai. Pada periode 2004-2009 hasil penyelidikan Komnas HAM diserahkan ke DPR-RI untuk dilakukan kajian.
"Tapi nyatanya, diputar-putar di alat kelengkapan dewan sampai dua kali," kenang Sumarsih.
Pimpinan DPR saat itu telah menugaskan Komisi III untuk melakukan kajian, untuk kemudian dibawa ke Badan Musyawarah (Bamus) DPR. Namun oleh Bamus DPR, hasil penyelidikan tersebut dikembalikan ke Komisi III dan diserahkan lagi ke Pimpinan DPR.
Setelah itu, hasil penyelidikan dikembalikan ke Bamus DPR dan akhirnya hanya empat fraksi yang menyetujui untuk dibawa ke rapat paripurna DPR.
"Enam fraksi menolak," tutur Sumarsih.
(Baca: 19 Tahun Penegakan Hukum Kasus HAM '98 Dinilai Nyaris Tak Ada Kemajuan)
Kesulitan serupa juga ditemui saat berurusan dengan Kejaksaan Agung. Jaksa Agung, sebut Sumarsih, berkali-kali menolak penyelidikan Komnas HAM dengan berbagai alasan.
"Alasannya, hasil penyelidikan hanya merupakan transkrip, penyelidik tidak diambil sumpah, masing-masing lembar harus ditandatangani KPP HAM (komisi penyelidik pelanggaraan hak asasi manusia), ditolak tanpa alasan," terang Sumarsih.
Bahkan, Jampidsus kala itu, Kemas Yahya Rahman, sempat menyatakan bahwa berkas hasil penyelidikan Komnas HAM, hilang.
Dua hari setelah itu, keluarga korban didampingi Kontras menghadap ke Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). SBY lantas menugaskan Sekretaris Kabinet untuk mencari tahu kebenaran informasi hilangnya berkas tersebut. Dua hari berselang, Kapuspenkum Kejagung menggelar konferensi pers bahwa berkas yang dimaksud tidak hilang.