JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Populi Center Rafif Pamenang Imawan menilai, masifnya penggunaan media sosial saat ini berdampak terhadap menguatnya politik simbol di masyarakat.
Rafif menyebutkan, simbol ini bisa bermacam-macam bentuknya seperti suku, agama, dan ras.
Dinamika yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta menunjukkan bagaimana agama dijadikan simbol.
Sementara di luar daerah, kata Rafif, banyak ditemui simbol-simbol yang berupa ketokohan/persona atau klan.
Baca: Hindari Buka Media Sosial saat Dirundung Emosi
"Persoalan ini menunjukkan politik sekarang ini, politik yang simbolis, bermain sentimen," kata Rafif, dalam diskusi 'Saracen, Media Sosial, dan Politisasi Islam' di Jakarta, Selasa (29/8/2017).
Kelompok penebar berita bohong seperti Saracen, kata Rafif, merupakan salah satu contoh pihak yang diuntungkan dengan menguatnya politik simbol ini.
"Saracen mungkin melihat ini motif ekonomi saja. Tetapi problem sosial muncul dari marketing simbolis ini," kata Rafif.
Lantas, sampai kapan politik simbol ini akan berlangsung?
Rafif memperkirakan menginjak tahun Pemilu 2018, politik simbol akan semakin ekstrem.
"Tarikannya Islam versus nasionalis, dan bagaimana orang memakai nasionalisme itu sendiri," kata Rafif.
Dalam rangka menjaga stabilitas politik, kata dia, pemerintah disarankan untuk fokus pada simbol-simbol yang tidak anti-Islam, dan lebih fokus pada kebijakan yang "pro-mayoritas".
"Sebab, meskipun Presiden Jokowi sudah memecah gunung di Papua (membuat jalan), membangun jalan tol, tetapi kerja keras itu tidak akan ada artinya kalau disimbolkan sebagai orang yang tidak pro-Islam dan mayoritas," ujar Rafif.