JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Komunikasi Politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio menilai bahwa tensi politik pada tahun ini tidak lebih tinggi daripada tahun lalu. Hal itu tergambar dalam gelaran sidang tahunan MPR yang digelar di gedung DPR-MPR, Jakarta, kemarin.
Seperti sidang tahunan MPR pada umumya, Presiden menyampaikan sejumlah pidato, yakni tentang kinerja lembaga negara, pidato kenegaraan dalam rangka Hari Ulang Tahun RI dan penyampaian RAPBN 2018.
"Kalau dibandingkan gairah politik tahun lalu, pidato dan sidang umum tahunan tahun ini (2017) lebih terasa hambar, enggak ada gregetnya. Lebih bergairah tahun lalu (2016)," kata Hendri saat dihubungi, Rabu.
Berbeda dengan tahun lalu, kata Hendri, publik dikejutkan dengan doa yang disampaikan Politisi Partai Gerindra Muhammad Syafi'i. Saat itu, Syafi'i menyampaikan doa bernada kritik untuk Jokowi.
(Baca: Kontras Nilai Pidato Jokowi Abai soal Hak Asasi Manusia)
Meskipun menjadi polemik setelahnya, namun dinamika politik saat itu menjadi tanda bahwa sebagai oposisi Partai Gerindra siap mengkritisi pemerintah kapan pun.
Hendri menilai, hambarnya gelaran sidang tahunan kali ini lantaran banyaknya dukungan partai politik kepada Jokowi. Hendri menyayangkan kondisi ini, sebab bisa berdampak negatif pada jalannya roda demokrasi ke depannya.
"Nah ini jangan sampai DPR kembali menjadi DPR khas paduan suara zaman orde baru. 'Apa-apa iya, apa-apa oke' (mengikuti keinginan presiden)," kata Hendri.
Hendri mengimbau, Partai Gerindra dan PKS yang sejak awal memutuskan menjadi oposisi lebih bersuara mengkritik pemerintah. Hendri mengingatkan, keberadaan oposisi dalam sistem demokrasi sangat penting guna mengawal kinerja pemerintah.
"Partai oppsisi harus jadi benar-benar oposisi, jangan label doang. Jadilah oposisi beneran," kata Hendri.