JAKARTA, KOMPAS.com - Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) disebut tidak tepat untuk mengatasi persoalan ekstrimisme, radikalisme, dan terorisme di dalam negeri.
Koalisi Masyarakat Sipil Tanpa Perppu Ormas menganggap bahwa pemerintah lebih tepat menggunakan cara lain untuk mengatasi persoalan tersebut.
"Perppu itu bentuk kegagalan memahami ekstrimisme, radikalisme, dan terorisme. Padahal banyak studi yang sudah dilakukan penanganan persoalan itu bisa dilakukan dengan cara lain oleh negara," ujar Direktur Imparsial, Al A'raf yang tergabung dalam koalisi, di Jakarta, Minggu (13/8/2017).
(Baca: Jokowi Heran Dulu Disebut "Ndeso dan Klemar-klemer", Sekarang Diktator)
Pertama, kata Al A'raf, pemerintah harus tetap memberikan kelompok-kelompok yang dianggap ekstrimis dan radikal tetap punya hak untuk menyampaikan pandangannya terhadap kebijakan negara. Alasannya, pada masa orde baru ketika itu, ruang tersebut dibatasi sehingga membuat radikalisme berkembang lewat bawah tanah.
"Rezimnya diktator, sehingga gerakan radikal menguat lewat bawah tanah. Itu membuat radikalisme terjadi. Nah sekarang negara mengulangi hal yang sama, dengan Perppu yang sangat subjektif, dimensinya cenderung represif," kata dia.
Kedua, kata Al A'raf negara harus memenuhi kebutuhan akan kesehatan dan pendidikan masyarakat secara maksimal, sehingga negara dipandang positif hadir.
"Negara harus memenuhi pelayanan. Negara harus bekerja secara maksimal kepada masyarakat, sehingga kelompok itu terpinggirkan dengan sendirinya," ujar Al A'raf.
(Baca: Para Pengacara Ini Gugat Perppu Ormas Bukan karena Bela HTI)
Menurut Al A'raf, praktek korupsi, membuat kapasitas negara lemah, sehingga hal itu menjadi ruang untuk menyatakan bahwa negara tidak cukup baik, imbasnya radikalisme pun menjadi subur.
"Sepanjang negara menunjukkan kapasitas lemah. Maka itu secara bersamaan akan menjadikan mereka membangun kapasitasnya melawan negara," kata dia.
Terakhir, negara harus selalu hadir dalam ruang-ruang intoleransi yang terjadi. Penegakan hukum harus bekerja maksimal.
"Jadi bagaimana menindak pelanggaran hukum secara maksimal. Silahkan demo, tapi kalau ada kekerasan ya ditindak. Memang ada beberapa yang berhasil. Tapi dalam beberapa kasus lainnya tidak berjalan efektif. Jadi ini bukan masalahnya UU, tapi implementasi UU," tutup Al A'raf.
Sebagaimana diketahui, penerbitan Perppu No 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan menuai pro dan kontra dari berbagai pihak.
Pihak yang kontra menganggap langkah pemerintah sebagai bentuk pemberangusan kebebasan berserikat. Alasannya, semua Ormas berpotensi dibubarkan oleh pemerintah berdasarkan Perppu Ormas. Sebab, ada beberapa pasal dalam Perppu Ormas berpotensi memberangus kebebasan berserikat.
Sementara yang pihak sepakat menganggap, Perppu Ormas lebih demokratis dibadingkan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 yang digantikan perppu itu. Lantaran pembubaran ormas dapat dilakukan langsung pemerintah. Dengan tetap memberikan kesempatan bagi ormas yang tidak puas untuk mengajukan gugatan ke pengadilan.