Namun seiring perkembangan zaman, bidai kini menjadi barang mahal dan terkenal di Malaysia. Hal ini karena masyarakat Jagoi menjual bidainya di Serikin, Malaysia.
“Paling banyak dijual Malaysia. Mereka membeli dalam jumlah banyak. Kalau di Indonesia, paling kalau ada yang pesan. Padahal, kalau sudah sampai di Malaysia, nanti diimpor lagi ke Indonesia,” ungkap Mateus (31 tahun) perajin bidai asal Jagoi.
Masyarakat Jagoi yang bekerja sebagai perajin juga memiliki kreativitas dan inovasi dalam mengolah limbah. Proses perautan rotan dalam pembuatan bidai ini menghasilkan limbah rotan dengan jumlah yang tidak sedikit.
Para perajin pun rupanya mampu mengolah sisa-sisa rotan tersebut dan menghasilkan suatu kreasi yang memiliki nilai jual cukup tinggi. Kerajinan tangan dari limbah rotan pun memiliki peminat yang tidak kalah banyak dengan kerajinan tangan lainnya.
Beberapa jenis barang yang dihasilkan dari limbah rotan juga menghasilkan pendapatan, antara lain gelang tangan, takin hias, vas bunga, dan keranjang.
Potensi kerajinan bidai sangat tinggi untuk dikembangkan sebagai suatu kerajinan kreatif. Harganya di pasaran juga cukup bervariatif tergantung ukuran mulai dari RM 50 (sekitar Rp 155 ribu) hingga RM 350 (sekitar Rp 1 juta) atau mencapai harga di atas satu juta rupiah.
Namun sayangnya hasil karya anak bangsa ini harus menjadi barang impor dengan merk “Made in Malaysia”.
Secara sosial tak ada masalah besar di perbatasan. Masalahnya, hanya pada terbatasnya infrastruktur.
Warga Jagoi tak bisa berbuat banyak. Mereka hanya bisa menatap dan melihat kemakmuran negara tetangga. Mereka membawa dan menjual berbagai hasil pertanian ke Malaysia.
Warga Jagoi memang seperti hidup di republik sendiri, memperjuangkan nasibnya sendiri nun jauh dari hingar-bingar Jakarta.
Desain pembangunan perbatasan
Setiap daerah perbatasan adalah “serambi” suatu negara, begitu pula dengan daerah perbatasan Jagoi, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat.
Jagoi berbatasan langsung dengan Malaysia. Daerah ini harus dikondisikan sebaik mungkin, terutama dalam hal pembangunan infrastruktur dan ekonomi.
Namun kenyataannya belum mendapat perhatian secara proporsional. Kondisi ini terbukti dari masih banyaknya penduduk miskin yang bermukim di daerah perbatasan Jagoi.
Keterbelakangan masih membelenggu masyarakat. Data yang diperoleh dari kantor kecamatan, sebanyak 1.537 jiwa penduduk miskin bermukim di Perbatasan Jagoi Babang.
Karut marut pembangunan perbatasan tak lepas dari buruknya sistem pembangunan dan koordinasi antar instansi pemerintah. Kondisi itu membuat pembangunan perbatasan seperti di Jagoi semakin terabaikan.
Padahal, kawasan perbatasan seperti Jagoi di Kalimantan Barat sangat spesifik dibandingkan perbatasan lain. Sebab, perbatasan di wilayah tersebut, berhadapan langsung dengan negara yang lebih maju, Malaysia. Sehinga harus ada penanganan secara lebih.
“Kalimantan Barat satu-satunya perbatasan paling maju di Indonesia,” ujar Abelnus, Ketua Umum Forum Perbatasan Kalimantan Barat.