Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Negara Dinilai Bisa Tangkap Orang Pakai Pasal Makar, tetapi...

Kompas.com - 13/06/2017, 13:08 WIB
Fachri Fachrudin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Roichatul Aswidah menyatakan, negara bisa saja melakukan penangkapan terhadap mereka yang diduga melakukan makar, demi melindungi warga negara lain secara luas.

Hal ini disampaikan Roichatul Aswidah saat menjadi ahli dari pihak pemohon uji materi sejumlah pasal terkait perbuatan makar, dalam sidang lanjutan di Mahkamah Konstitusi, Selasa (13/6/2017). Adapun pihak pemohon adalah Institute For Criminal Justice Reform (ICJR).

Namun, menurut Roichatul, upaya kriminalisasi terhadap seseorang merupakan langkah terakhir yang dilakukan negara.

Dengan kata lain, jika semua cara yang ada dan telah diatur dalam undang-undang tidak cukup memberikan perlindungan terhadap warga negara secara umum.

"Aturan ini merujuk pada ketentuan Pasal 2 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang kemudian disahkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 yang di dalammya memuat terminologi hak atas perlindungan hukum yang memberi amanah kepada negara untuk memberikan perlidungan, bukan hanya dari aparat negara tapi juga pihak ketiga, yakni masyarakat," kata Roichatul dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.

Namun, Roichatul menilai, upaya negara membatasi hak seseorang atau mengkriminalisasi menjadi tidak tepat jika langkah itu ditempuh untuk menjerat para aktivis dengan tuduhan makar sebagaimana terjadi di Indonesia.

"Sebab pasal makar justru menyasar pada ekspresi politik. Dalam studi ICJR beberapa kasus terkait ekpresi politik secara damai dipidana dengan pasal makar tersebut," kata Roichatul.

Oleh karena itu, menurut Roichatul, makna makar dalam pasal makar harus didefinisikan secara terbatas, untuk mencegah ketidakjelasan penerapan pasal makar.

Sebab, penerapan pasal makar dengan definisi yang luas justru berpotensi menjadi ancaman dalam penegakan hak asasi manusia.

"Hukum tidak boleh sewenang wenang, ambigu, harus jelas, dan dibuat secara hati-hati serta teliti. Tidak diperkenankan multi-interpretasi, namun harus ketat dan bersifat limitatif," ujarnya.

(Baca juga: Penggunaan Pasal Makar Ancam Ekspresi Politik Masyarakat)

Sebelumnya, ICJR mengajukan uji materi terhadap Pasal 87, 104, 106, 107, 139a, 139b, dan 140 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP) ke Mahkamah Konstitusi (MK). ICJR minta kejelasan definisi makar dalam KUHP.

Peneliti ICJR, Erasmus Napitupulu mengatakan, kata "makar" dalam KUHP merupakan terjemahan dari kata "aanslag" dari KUHP Belanda. Namun, kata dia, tidak ada kejelasan definisi dari kata "aanslag".

"Makar bukan bahasa Indonesia yang mudah dipahami, 'makar' dari bahasa Arab. Sedangkan 'aanslag' artinya serangan. Tidak jelasnya penggunaan frasa aanslag yang diterjemahkan sebagai makar, telah mengaburkan pemaknaan mendasar dari aanslag," kata Erasmus di gedung MK, Jakarta, Jumat (16/12/2016).

(Baca: ICJR Ajukan Uji Materi Pasal Makar ke MK)

Sedangkan dalam bahasa Indonesia, makar menunjukkan kata sifat atau ekspresi niat yang tanpa serangan.

Erasmus menyebutkan, perumusan pidana harus berdasarkan pada kejelasan tujuan dan rumusan yang merupakan bagian dari asas legalitas. Kejelasan rumusan, lanjut dia, merupakan bagian dari melindungi warga negara.

Kompas TV Sidang kasus dugaan makar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menghadirkan ahli hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Nasional
Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Nasional
Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Nasional
Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Nasional
Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Nasional
7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

Nasional
Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Nasional
Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Nasional
Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Nasional
BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

Nasional
Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Nasional
Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com