JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang putusan uji materi Pasal 87 dan Pasal 110 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait perbuatan atau niat permufakatan jahat yang mengacu pada makar.
Permohonan dengan nomor perkara 19/PUU-XIV/2017 itu diajukan oleh advokat Habiburokhman. Sidang digelar di gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (30/5/2017). Dalam putusannya, MK menggugurkan permohonan uji materi tersebut.
"Mengadili, menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," ujar Wakil Ketua MK, Anwar Usman dalam persidangan yang tak dihadiri Pemohon.
Sebelumnya MK telah menggelar sidang pendahuluan pada Rabu (17/5/2017). Namun saat itu Habiburokhman juga tidak hadir.
Hakim Konstitusi Saldi Isra menjelaskan, alasan MK mengugurkan permohonan tersebut lantaran pemohon tidak hadir tanpa keterangan sama sekali dalam sidang sebelumnya.
(Baca: Kapolri Tegaskan Kasus Makar Punya Bukti yang Kuat)
Padahal sebelumnya, MK telah memanggil pemohon secara sah melalui surat panitera agar menghadiri sidang.
"Pihak panitera juga menelepon pemohon tapi tidak diangkat padahal ada nada sambung," kata Saldi.
Saldi menambahkan, sesuai ketentuan pasal 39 ayat 1 dan 2 UU MK disebutkan bahwa sebelum memulai pokok perkara maka hakim konstitusi mesti memeriksa kelengkapan berkas perkara. Oleh karena itu, menjadi penting bagi pmohon untuk hadir dalam sidang pendahuluan.
Aturan ini, menurut Saldi, semestinya ditaati tiap pemohon yang mengajukan uji materi di MK, termasuk Habiburrokhman. Dengan tidak hadirnya pemohon meskipun MK telah menghubungi, maka MK bisa menggugurkan permohonan tersebut.
(Baca: Panglima TNI Tersinggung Aksi Umat Islam Dikaitkan Upaya Kudeta)
"Ini menunjukkan bahwa pemohon tidak menunjukkan kesungguhan dalam mengajukan permohonan," kata Saldi.
Untuk diketahui, dalam permohonannya, Habiburokhman merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya pasal yang diuji tersebut.
Menurut Habiburokhman, kedua pasal yang diuji itu secara nyata berpotensi menghambat pemohon untuk bersikap kritis terhadap pemerintah. Sebab, sikap kritisnya akan dinilai sebagai ancaman atau makar.
Menurut Habiburrokhman, Pasal 87 dan Pasal 110 Ayat 1 bertentangan dengan norma Pasal 28D Ayat 1 dan Pasal 28G Ayat 1 UUD 1945 terkait pengakuan atas hak yang sama di hadapan hukum dan hak atas rasa aman dari ancaman ketakutan atas sesuatu yang merupakan hak asasi sebagai batu uji.