JAKARTA, KOMPAS.com - Penggunaan bahasa sandi merupakan satu hal yang lumrah terjadi dalam prakti korupsi.
Sandi yang digunakan pun cenderung beragam dan dekat dengan kehidupan sehari-hari. Tujuannya, untuk mengelabui proses penyadapan oleh aparat penegak hukum.
(Baca: KPK Ingatkan Revisi PP Remisi Jangan Sampai Lemahkan Pemberantasan Korupsi)
Pakar komunikasi Politik Universitas Indonesia Effendi Gazali berpendapat bahwa penggunaan sandi dalam praktik korupsi selalu berubah dengan bahasa yang unik.
Menurut Effendi, hal itu menunjukkan pelaku korupsi semakin kreatif dalam berkomunikasi.
"Ini menunjukkan bahwa praktik Korupsi akan jauh lebih kreatif," ujar Effendi dalam acara bedah buku berjudul 'Metamorfosis Sandi Komunikasi Korupsi' karya jurnalis Sabir Laluhu, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Rabu (17/5/2017).
Buku tersebut mengulas 23 kasus korupsi dan cara-cara para pelaku korupsi untuk saling berkomunikasi.
Sabir mengungkapkan, dari 23 kasus tersebut, tercatat ada 199 bahasa sandi yang dipakai oleh pelaku untuk menyimbolkan materi korupsi.
Bahasa yang digunakan oleh pelaku, kata sabir, tidak jauh dari konteks sosial, budaya dan agama.
Dia mencontohkan penggunaan istilah "apel malang" dan "apel washington" dalam kasus dugaan korupsi wisma atlet Sea Games di Palembang.
(Baca: KPK Klaim Sudah Lakukan Fungsi Pencegahan secara Optimal)
Ada juga istilah uang gondrong dan uang jenggot yang merujuk pada mata uang Dollar Amerika Serikat.
"Beberapa pelaku juga biasanya menggunakan bahasa daerah. Misalnya bahasa Padang dan Batak," kata dia.
Fakta yang cukup mengejutkan, lanjut Sabir, dalam kasus korupsi pengadaan Al Quran, para pelaku bahkan menggunakan istilah yang dekat dengan umat muslim.
Misalnya penggunaan istilah Kyai sebagai pengganti penyebutan pejabat di kementerian. Kemudian istilah untuk menyebut proses tender atau lelang.
"Dalam kasus korupsi pengadaan Al Quran, sandi yang dipakai itu cenderung dekat dengan umat Islam misal santri, imam, kyai, murtad dan pengajian," kata Sabir.