Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 04/05/2017, 16:36 WIB

oleh: M Subhan SD

Apakah DPR bersikukuh meneruskan hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi ketika suara-suara publik menolak keras? Apakah DPR tetap ngotot mencari celah agar panitia hak angket terbentuk meskipun sejumlah fraksi menarik dukungan? Kalau jawabannya "iya", barangkali inilah kemuraman demokrasi yang dicemaskan Aristoteles (384-322 SM) ribuan tahun silam. Demokrasi yang memperlihatkan kekacauan karena praktik kekuasaan dilandasi emosi semata-mata. Demokrasi kerap diwarnai eksploitasi kelas berkuasa terhadap rakyat. Demokrasi yang anarkistis.

Kalau tujuan hak angket DPR untuk membenahi KPK, sebe- tulnya banyak mekanismenya, misalnya mengoptimalkan fungsi pengawasan melalui kegiatan rapat-rapat di DPR. Kalau mempersoalkan tugas dan kewenangan KPK, tugas dan wewenang apa yang dinilai melenceng? Kalau untuk mencari rekaman pemeriksaan Miryam S Haryani-anggota DPR yang baru saja ditangkap karena buron-tentu sudah beda motifnya.

Kalau DPR menganggap KPK "salah" sehingga harus diobok-obok, sebaiknya bangunlah dari tidur siang di Senayan. Bahwa tidak ada kesempurnaan, itu sudah pasti. Namun, sampai hari ini, KPK masih paling dipercaya publik. Sebaliknya, DPR tingkat kepercayaannya rendah. Bahkan, jika mencermati komentar di situs berita atau media sosial, tak sedikit yang menyuarakan pembubaran DPR.

KPK memang "keras" memburu para pejabat korup. Dan, DPR sepertinya tak beringsut dari target KPK. Kasus-kasus korupsi, seperti proyek pusat olahraga di Hambalang, wisma atlet Palembang, dana infrastruktur penyesuaian daerah, impor sapi, dan terkini korupsi KTP elektronik, selalu terhubung dengan wakil rakyat. Untuk DPR periode 2014-2019, KPK menjerat Adriansyah dan Damayanti Wisnu Putranti (PDI-P), Budi Supriyanto (Golkar), Patrice Rio Capella (Nasdem), Dewie Yasin Limpo (Hanura), I Putu Sudiartana (Demokrat), Andi Taufan Tiro (PAN), Yudi Widiana (PKS), dan Musa Zainuddin (PKB).

Pantas saja DPR tampak marah pada KPK. Pada 2016, Ketua KPK Agus Rahardjo merinci bahwa KPK sudah menyeret 119 anggota DPR/DPRD, 15 gubernur, dan 50 bupati/wali kota. Dari sisi penyelamatan uang negara, contohnya 2010-2014 KPK berkontribusi Rp 270 triliun lewat pencegahan korupsi dan penyelamatan lewat penindakan senilai Rp 1,3 triliun sejak 2004. Kinerja KPK memang moncer di tengah gangguan di sana-sini.

(Baca juga: Gulirkan Hak Angket, DPR Dianggap Ingin Unjuk Kekuatan Politik Terhadap KPK)

Bagaimana dengan DPR? Fungsi penganggaran tentu berjalan bersama pemerintah. Dalam fungsi pengawasan, DPR begitu bertaji, bahkan mungkin bisa mendikte pemerintah. Soal fungsi legislasi, inilah yang jeblok. Tahun 2014, saat mereka berantem rebutan kuasa, cuma merampungkan satu RUU. Itu pun bukan program legislasi nasional (prolegnas). Tahun 2015, dari target 40 RUU prolegnas, hanya 3 RUU yang rampung, selebihnya kumulatif terbuka. Tahun 2016, DPR cuma bisa menyelesaikan 10 RUU prolegnas dari target 50 RUU.

Karena itu, paling krusial adalah bagaimana berkomitmen terhadap code of conduct dan sumpah anggota DPR agar tidak terus tergoda rayuan korupsi. Jika hendak membenahi KPK, jangan dengan amarah dan emosional atau motif tertentu, apalagi sampai membela sesama kolega. Ingat, rakyat juga bisa marah. Di change.org, dalam lima hari, sudah lebih dari 30.000 warga meneken melawan hak angket. Mau melawan rakyat, bisa kualat. Sebab, rakyat adalah pemegang mandat sesungguhnya.
---
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Mei 2017, di halaman 2 dengan judul "Demokrasi Emosional".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com