JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) diminta untuk lebih memperketat manajemen waktu penyelesaian perkara.
Ketua Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Veri Junaidi mengatakan, tunggakan perkara yang "diwariskan" dari tahun ke tahun terus meningkat.
Ia menyebutkan, pada 2016 ini, jumlah tunggakan perkara sebanyak 78 perkara.
Sedangkan tunggakan perkara pada 2015 hanya 63 perkara.
Selain itu, ia menilai, menurunnya produktivitas MK juga ditambah dengan data waktu penanganan perkara yang lebih lama ketimbang rata-rata tahunan.
Pada 2016, MK rata-rata menyelesaikan perkara hingga 10 bulan.
Sementara, rata-rata waktu penyelesaian perkara oleh MK selama 13 tahun berdiri adalah 6,5 bulan.
"Sudah selayaknya MK mulai mengatur soal waktu penanganan perkara supaya lebih bisa memberikan kepastian hukum terhadap semua pengujian di MK, juga memberikan kepastian untuk semua proses yang ada," ujar Veri, saat merilis catatan akhir tahun di bilangan Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (27/12/2016).
Sementara itu, Peneliti Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari mengatakan, perlu ada batasan waktu persidangan.
Ia mengingatkan, jangan ada perlakuan yang berbeda antara kasus satu dengan yang lain.
Feri mencontohkan kasus yang dimohonkan Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun dalam menguji Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Paspor sebagai alat agar masyarakat boleh mencoblos pada pemilu.
Perkara tersebut, kata Feri, diputus dalam waktu sehari saja.
"Jadi MK sebetulnya bisa memenuhi asas persidangan cepat. Sepanjang alat bukti dan kebutuhan lainnya bisa dipercepat," tutur Feri.
Adapun, dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi hanya diatur mengenai batas waktu pendaftaran permohonan hingga perkara disidangkan.
"Setelah itu tidak ada tenggat waktu. Dalam kekosongan itu pihak-pihak tertentu bisa memanfaatkan perkara itu jadi sangat banyak," kata dia.