JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat Politik Yudi Latif menilai semestinya kursi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat diduduki oleh orang yang tak pernah tersangkut kasus moral. Hal itu disampaikan Yudi menanggapi wacana pergantian posisi Ketua DPR dari Ade Komarudin ke Setya Novanto.
Wacana tersebut dihembuskan oleh Fraksi Partai Golkar, tetapi menimbulkan pro dan kontra hingga kini.
"Dari sisi etika, politik itu harus tunduk pada etika. Dan itu bicara tentang kemaslahatan bagi keseluruhan tatanan. Pimpinan DPR itu bagaikan sumur terhadap seluruh kinerja legislasi. Kalau sumurnya saja sudah cemar, orang akan sulit mempercayai nilai," kata Yudi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (3/10/2016).
Karena itu Yudi mengatakan kepemimpinan DPR harus mencerminkan keteladanan etika dan moral. Ditambah pula, Novanto saat itu atas inisiatifnya sendiri mengundurkan diri dari posisi Ketua DPR, karena opini yang berkembang di masyarakat atas perbuatannya yang melobi kepemilikan saham PT Freeport Indonesia.
(Baca: Kursi Ketua DPR Diwacanakan Kembali ke Setya Novanto, Ini Reaksi Ade Komarudin)
"Karena itu, jika dikembalikan lagi setelah diturunkan, itu akan memunculkan distrust dari publik dan membuat citra DPR itu makin buruk. Sebaiknya Ketua DPR sosok yang tak tersangkut kasus moral," lanjut Yudi.
Sebelumnya Fraksi Partai Golkar menginginkan nama Novanto sebagai mantan Ketua DPR direhabilitasi. Sebab, pasca-dikabulkannya gugatan Novanto oleh MK, beberapa anggota Fraksi Partai Golkar menilai Novanto dirugikan oleh tuduhan pemufakatan jahat lewat rekaman yang diambil oleh Presiden Direktur Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin.
Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa alat bukti rekaman elektronik sebagai alat bukti utama dalam proses persidangan MKD adalah tidak sah. Sehingga, bukti pengaduan dalam persidangan MKD tersebut dinyatakan tidak valid untuk dijadikan barang bukti.
Terkait hal tersebut, sejumlah anggota fraksi menyuarakan agar posisi Novanto sebagai Ketua DPR juga ikut dipulihkan.