JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menerima 38 pengaduan mengenai keterlibatan aparat dalam kejahatan narkotika. Pengaduan tersebut dilaporkan masyarakat sejak 4 Agustus 2016 dari 11 provinsi yang dihimpun dalam Posko Darurat Bongkar Aparat.
Kepala Divisi Pembelaan Hak Sipil Politik Kontras Putri Kanesia mengatakan, 38 kasus tersebut paling banyak dilakukan oleh Kepolisian. Jumlahnya mencapai 24 kasus.
Sedangkan, satu kasus dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan 13 kasus dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN). Adapun 38 kasus tersebut berpotensi menyebabkan penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum dalam kasus narkotika
"Potensi itu terkait pemberian status whistleblower dan justice collaborator (JC), rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika, serta operasi pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan (control delivery)," ujar Putri ketika audiensi dengan Ombudsman RI di Jakarta, Selasa (20/9/2016).
Putri menjelaskan, dalam kasus pemberian status whistleblower dan JC, Kontras menemukan banyak terjadi pemerasan oleh aparat kepada terpidana narkotika.
Terpidana diiming-imingi oleh aparat untuk menjadi whistleblower dan JC dengan syarat membayar sejumlah uang pada saat penyidikan. Padahal, penetapan status ini hanya bisa ditentukan oleh hakim dalam pengadilan.
"JC ini ruang diskresinya terlalu besar. Menjadi ruang pemerasan oleh penyidik. Ini di level polisi, ditawari mau jadi JC tapi bayar. Pelaku gak tahu dan bayar, ternyata jcnya diproses juga enggak," kata Putri.
Dalam kasus pemberian rehabilitasi, lanjut Putri, penegak hukum berperan besar dalam menentukan bentuk pemasyarakatan ini terhadap pecandu dan penyalahguna narkotika. Aparat dapat memutuskan pemberian rehabilitasi dengan menghadirkan tim asesmen.
Sayangnya, keputusan menghadirkan tim asesmen masih bersifat opsional tergantung diskresi penyidik. Ini menjadi peluang besar bagi penegak hukum untuk melakukan pemerasan.
"Posisi yang menentukan itu disalahgunakan oleh penegak hukum. Diancam dijadikan sebagai pengedar kalau tidak bayar," ucap Putri.
Mengenai pelaksanaan operasi pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan, kata Putri, penyalahgunaan wewenang dapat terjadi karena masyarakat sulit menguji keabsahan operasi pembelian terselubung atau penyerahan di bawah pengawasan. Pasalnya, masyarakat tidak memiliki akses mengenai aturan standar operasi tersebut, sehingga praktik ini rawan disalahgunakan.
"Teknis mekanisme tersebut masih rahasia. Tahun 2011 pernah ada pengajuan masyarakat mengenai masalah ini ke Komisi Informasi Pusat (KIP) namun ditolak," kata Putri.
Atas dasar itu, Putri mendesak Ombudsman RI untuk melakukan klarifikasi, investigasi, dan pengawasan terkait kasus-kasus dari Posko Darurat Bongkar Aparat.
"Melalui kewenangannya kami juga mendesak Ombudsman memberikan rekomendasi kepada institusi terkait yang diadukan bersamaan dengan penyampaian laporan ini," ujar Putri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.