Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Iman Purnama

Pernah bekerja sebagai wartawan magang, copywriter, dan content writer. Kini mahasiswa master di Center for Religious and Cross Cultural Study (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM).

Bus, Ambulans, dan Nostalgia Dunia Abadi

Kompas.com - 21/08/2016, 11:27 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Tri Wahono

Ada orang mati gantung diri,” sahut seseorang kepada kondektur di dalam bus. Orang-orang lantas menoleh ke satu titik.

Kerumunan terlihat jelas di sebuah jalan kecil di samping terminal. Garis polisi belum terlihat. Namun, kejadian itu tampaknya membuat suasana cukup ramai.

Sang kondektur tidak bertanya lebih lanjut. Mungkin, bagi dia dan banyak orang, kejadian itu biasa saja. Sama seperti banyak kejadian yang berlalu dalam hidupnya.

Tidak ada istimewa. Pun termasuk kejadian satu orang yang kehilangan harapan, lantas memilih gantung diri pada suatu sore di ruko di dekat terminal.

Kenapa orang bisa kehilangan harapan?

Kalau mencermati sejarah agama-agama, jamak diketahui pada mulanya agama menjadi sahabat bagi siapa saja yang kehilangan harapan dan menderita.

Tidak perlu banyak diceritakan, tentu, tentang bagaimana para nabi, santo, atau para punggawa agama lainnya kerap bersahabat dengan orang-orang yang lemah dan papa.

Bagi orang-orang yang lemah dan papa, agama memang kerap kali menawarkan harapan untuk tidak berputus asa.

Kekuatan harapan itulah yang agaknya sering dijadikan landasan untuk terus menjalani hari demi hari dengan batin yang tenang, meski tentu saja esok hari  masih misteri. Apa duka atau suka yang akan datang menghampiri?

Cerita ironis dalam kisah kematian

Bicara tentang agama dan harapan, omong-omong, selalu mengingatkan pada cerita seorang kawan. Ia mempunyai seorang adik laki-laki.

Sebut saja nama adik laki-laki itu Hanry. Ia, bersama kakak dan keluarganya, tinggal dan besar di kampung di tanah Batak yang jauh dari keramaian kota.

Pada mulanya Hanry tergolong remaja yang sehat. Namun, tanpa diduga, suatu hari nyamuk Aedes aegypti dengan nakal mengigitnya entah di mana dan kapan.

Akibatnya jelas, ia kena penyakit demam berdarah dan harus berbaring tanpa daya di dipan berhari-hari lamanya.

Keluarga Hanry, memang hanya orang biasa. Untuk pengobatan sehari-hari tidak banyak yang bisa mereka lakukan. Kompetensi dokter di kampung tidak memadai. Apalagi klinik kecil yang terletak di dekat balai desa.

Kondisi Hanry semakin hari semakin memburuk. Cemas dan sedikit panik, orangtua Hanry memutuskan ingin membawa anaknya ke rumah sakit di kota.

Namun, dari mana biaya ambulans bisa ditanggung?

Kota tempat rumah sakit berada cukup jauh. Belum lagi akses transportasi yang sulit dan buruk di kampung. Biaya ambulans yang sebenarnya tidak seberapa jika diukur dengan penghasilan orang kota, mendadak menjadi kebutuhan yang mendesak, mahal, dan mewah.

Tidak menyerah, orangtua Hanry kemudian berinisiatif meminjam uang dari pintu ke pintu. Mereka berusaha mencari dana pinjaman dari siapa saja yang sekiranya bisa dimintai pertolongan sementara. Namun, inisiatif itu harus dibayar mahal.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com