NUSA DUA, KOMPAS.com – Seketika Kongres ke-3 Asosiasi Mahkamah Konstitusi dan Lembaga Sejenis se-Asia (Association of Asian Consitutional Court and Equivalent Institutions atau AACC) senyap, sesaat setelah Ketua Mahkamah Konstitusi Turki Zühtü Arslan memohon izin peserta untuk menayangkan video ulasan kudeta gagal di negaranya.
Video dibuka dengan tampilan pesawat tempur, gambar lokasi yang dibom, dan suara ledakan yang terjadi pada Jumat (15/7/2016). Menyusul kemudian antara lain rekaman yang memperlihatkan pembaca berita dipaksa membacakan kode kudeta dan disiarkan di televisi.
“Benar-benar hari yang berat. Saat itu saya berada di rumah bersama keluarga ketika gedung parlemen—yang berbeda jarak beberapa kilometer—dibom. Suara dan getaran membuat kami merasa bahwa kami ikut dibom,” ujar Arslan, Jumat (12/8/2016).
Kudeta itu gagal, kata Arslan, setelah Presiden Turki Recep Tayypi Erdogan lewat Facetime mengajak rakyatnya bersatu melawan kelompok militer yang hari itu sempat menguasai negeri mereka. Panggilan itu berjawab dan kudeta pun gagal.
Kenangan paling menempel bagi Arslan adalah saat putra bungsunya yang berusia 12 tahun terus memburu dia dengan pertanyaan. “Suaranya gemetar dan tidak mau berhenti bertanya,” tutur dia.
“Ayah, apakah mereka (bom dan pesawat perang) akan membunuh kita?” ujar Arslan menirukan pertanyaan putranya.
Arslan pun bertutur, dia menjawab pertanyaan anaknya dengan gelengan kepala yang lalu diikuti penjelasan bahwa kejadian hari itu tak akan membunuh keluarganya.
"Dalam hati saya benar-benar tidak yakin dengan jawaban tersebut. Hari itu waktu terasa lebih lama, seperti 100 tahun lamanya,” lanjut Arslan.
Dua hakim konstitusi dipecat
Kilas balik itu berakhir dengan cerita Arslan mengenai situasi di lembaganya. Keputusan yang sangat berat, sebut dia, adalah pemberhentian dua hakim konstitusi yang dinilai ikut terlibat dalam upaya kudeta itu.
“Dari ribuan aparatur pemerintah yang dipecat sejak gagalnya kudeta militer itu, setidaknya ada dua hakim di antaranya. Mereka dituding ikut mendalangi,” ujar Arslan.
Menurut Arslan, memberhentikan hakim konstitusi adalah keputusan yang luar biasa dan sangat sulit. Ia tak membayangkan apakah kasus semacam itu juga pernah terjadi di sejarah peradilan konstitusi lain.
“Bayangkan, bagi mahkamah konstitusi mana pun ini adalah situasi yang sulit dimana kami harus memberhentikan rekan kami yang di mata masyarakat merupakan orang yang seharusnya mengerti akan konstitusi tetapi ternyata ikut melanggar,” tutur Arslan.
Namun, Arslan menilai, keputusan itu adalah keadaan darurat yang harus segera disikapi. Terlebih lagi, pemberhentian dua hakim tersebut sudah melalui investigasi dan penyidikan, sehingga dugaan keterlibatan mereka dalam upaya kudeta sangatlah kuat.
Sejumlah langkah yang diambil pemerintahnya, kata Arslan, tak pelak tetap mengundang reaksi keras.
"Atas pemberhentian dan penangkapan hakim beserta ribuan pegawai negeri, serta pembatasan hak peliputan bagi wartawan, kami mendapat teguran keras dari Uni Eropa karena dianggap menyalahi Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia terkait putusan darurat yang dikeluarkan," ungkap Arslan.
Meski demikian, lanjut Arslan, status keadaan darurat memungkinkan pemerintah mengeluarkan dekrit dan mengeluarkan peraturan yang memiliki kekuatan hukum. Penangkapan dan pemberhentian itu, sebut dia, ada di antaranya.
"Namun, penggagalan kudeta oleh masyarakat, kami kira adalah bentuk dan ciri negara yang menjunjung tinggi demokrasi," tegas Arslan.
Kongres ke-3 AACC berlangsung di Bali pada 8-14 Agustus 2016. Kongres ini telah menghasilkan Deklarasi Bali yang sudah dibacakan pada Jumat (12/8/2016) malam. Kongres mengangkat tema “Pemajuan dan Perlindungan Hak-hak Konstitusional Warga Negara".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.