JAKARTA, KOMPAS.com – Dalam Operasi Tinombala untuk memberantas teroris di Poso, Sulawesi Tengah, pasukan gabungan TNI-Polri berhasil menembak mati pimpinan Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Santoso.
Namun, keberhasilan pasukan yang melibatkan TNI tersebut tidak serta-merta perlu diapresiasi dengan menambah wewenang TNI dalam memberantas teroris.
Menurut anggota Komisi I DPR Charles Honoris, Indonesia menganut sistem penegakan hukum dalam mengangani kasus terorisme.
Sehingga, keterlibatan TNI seharusnya mengacu pada asas permintaan dan kebutuhan dari aparat penegak hukum yang disahkan melalui keputusan presiden.
"Jadi, tidak perlu penambahan kewenangan TNI yang berlebihan di dalam revisi UU Antiterorisme. Jangan sampai nanti justru menimbulkan persoalan baru dalam penegakan hukum, khususnya pada tindakan pemberantasan terorisme,” kata Charles dalam keterangan tertulis, Jumat (22/7/2016).
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, TNI harus mengacu kepada UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Dalam dua aturan itu diatur apa saja tugas, pokok, dan fungsi yang dapat dilakukan TNI termasuk pemberantasan teroris yang menjadi salah satu dari 14 kegiatan Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
"Jangan sampai malah terjadi tumpang tindih kebijakan dan undang-undang yang justru memunculkan potensi semakin sulitnya koordinasi yang dilakukan oleh berbagai institusi," ujar Charles.
"Bahkan, jangan sampai mengancam penegakan dan marwah undang-undang itu sendiri," kata dia.
Lebih jauh, ia menilai, daripada menambah wewenang TNI di dalam pemberantasan teroris, lebih baik jika meningkatkan fungsi pencegahan dan deteksi dini melalui Badan Intelijen Negara.
Koordinasi antara tiga instansi, yaitu BIN, TNI, dan Polri perlu ditingkatkan, agar informasi yang sudah dikumpulkan oleh BIN tidak sia-sia.