Oleh: Topo Santoso
Tertangkapnya sejumlah hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi karena dugaan suap membuat optimisme kita pada pemberantasan korupsi kian anjlok. Indonesia Corruption Watch pun menuding seleksi hakim Pengadilan Tipikor sebagai biang masalahnya.
Benarkah persoalan suap-menyuap yang melibatkan hakim Pengadilan Tipikor disebabkan soal seleksi yang bermasalah?
Di berbagai negara, seleksi hakim dilakukan dengan berbagai model yang berbeda. Sebagian seleksi hakim langsung dari lulusan perguruan tinggi hukum, kemudian dilakukan pendidikan dalam waktu tertentu, selanjutnya mereka bertugas sebagai hakim.
Dalam tahap pendidikan ini mereka mendapat pembekalan yang cukup banyak: mulai dari hukum materiil, hukum formal, serta materi lain yang berhubungan dengan tugas dan wewenang hakim. Model ini juga dilakukan di Indonesia.
Di Jepang, pendidikan calon hakim awalnya sama dengan pendidikan calon jaksa dan calon pengacara. Umumnya, calon terbaik dari pendidikan itu menjadi hakim.
Berbeda dengan negara kita, di mana lulusan-lulusan terbaik dari perguruan tinggi hukum justru mereka memilih profesi lain.
Ada juga model lainnya, yakni para hakim berasal dari para profesional hukum, khususnya advokat atau jaksa yang sudah bertugas cukup lama, kemudian beralih menjadi hakim melalui proses pemilihan.
Sebagian yurisdiksi malah memilih hakim melalui proses pemilihan langsung oleh rakyat, sebagian oleh suatu komite. Amerika Serikat, misalnya, mengenal pemilihan semacam ini, yang berbeda antar-negara bagian.
Bagaimana hakim tipikor?
Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang berasal dari hakim karier dipilih dari para hakim yang memenuhi syarat tertentu.
Mestinya hakim karier di Pengadilan Tipikor ini adalah hakim yang rekam jejaknya tidak tercela dan sama sekali tidak pernah melakukan kesalahan yang bisa mengganggu integritasnya sebagai hakim tindak pidana korupsi.
Sementara para calon hakim ad hoc tindak pidana korupsi dipilih melalui proses seleksi yang cukup ketat, melibatkan panitia seleksi internal dari para hakim agung, serta para tokoh masyarakat dan akademisi yang kapasitas dan integritasnya telah teruji.
Tidak itu saja, masukan terhadap rekam jejak para calon hakim itu yang berasal dari lembaga resmi—seperti Komisi Yudisial (KY) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta lembaga swadaya masyarakat (LSM), seperti Indonesia Corruption Watch dan koalisi pemantau peradilan—sangat didengarkan.
Proses seleksi mencakup seleksi kapasitas dan integritas. Ujian tertulis, profile assessment, dan wawancara selalu dilakukan.