Lalu, mengapa satu demi satu hakim yang bertugas di Pengadilan Tipikor—baik yang karier maupun non-karier—terjerembab, tersangkut suap? Mengapa proses seleksi yang cukup ketat dan partisipatif sepertinya kurang mempan menyaring masuknya calon-calon yang korup?
Ini masalah yang sangat serius, sebab pemberantasan korupsi justru bermuara di Pengadilan Tipikor, dan berujung di ketukan palu para hakim tipikor.
Kalau Pengadilan Tipikor sudah tidak bisa dipercaya lagi, lalu bagaimana masa depan pemberantasan korupsi di negara ini?
Soal integritas dan karakter
Menurut saya, proses seleksi calon hakim tindak pidana korupsi yang dilakukan memang mesti diperkuat lagi untuk mencari hakim tipikor yang memiliki kapasitas dan integritas.
Namun, lebih dari itu, masalah terbesarnya terletak pada pudarnya karakter sebagai anak bangsa dan umat yang religius, yang mempunyai suatu rujukan utama dalam hidupnya.
Seorang pejabat KPK pernah berkunjung ke Swedia. Sepanjang perjalanan ke luar kota di tengah malam buta, melewati banyak lampu lalu lintas, tak sekalipun sopir yang mengantarnya melanggar lampu lalu lintas.
Ketika ditanya mengapa dia tetap patuh meski di tengah malam dan jauh dari pengawasan penegak hukum, dia menjawab, ”Kami sudah ratusan tahun menghormati hukum di negeri ini, dan tidak akan menghancurkannya dengan melanggar satu pun larangan.”
Prof Satjipto Rahardjo dalam kuliahnya sering mengutip budaya hukum di suatu negara di Afrika Selatan. Ketika di masa Inggris, aparat pemerintah tidak ada yang melanggar hukum.
Ketika pemerintahan berganti, hukum yang sama sering dilanggar. Pejabat di sana mengatakan, dulu kami menghormati kemuliaan Ratu Inggris dan tidak akan melanggar kehormatan itu dengan melanggar hukum meski mengandung lubang dan kelemahan.
Dalam suatu kurun waktu, berpuluh tahun lamanya di Belanda, hanya ada satu kasus penyimpangan hukum melibatkan hakim.
Kasus itu adalah kelebihan hari dalam suatu perjalanan dinas. Sementara kita, hal itu kadang dianggap lumrah.
Saya selalu terinspirasi dialog seorang ibu dan anak gadisnya di masa Khalifah Umar. Sang ibu membujuk anaknya melakukan praktik curang mencampur susu dengan air dan mengatakan bahwa hal itu toh tidak dilihat sang khalifah.
Anaknya menolak hal itu dan menjawab, ”Umar memang tidak melihat, tetapi Tuhannya Umar melihat.”
Jadi, masalahnya sebagian terbesar pada karakter. Seleksi berbagai pejabat sejak era reformasi makin meningkat dengan banyak tahapnya. Akan tetapi, hampir tidak ada yang terbebas dari suap-menyuap, gratifikasi, dan sebagainya.