JAKARTA, KOMPAS.com - Undang-Undang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) dianggap menabrak prinsip keterbukaan informasi. Ketua Yayasan Satu Keadilan, Sugeng Teguh Santoso menilai, pasal-pasal dalam UU tersebut malah terkesan menghalangi pihak-pihak tertentu dalam memberikan informasi dan data tentang adanya tindak pidana tertentu.
Ia menyinggung Pasal 21 ayat (2) UU Tax Amnesty yang berbunyi "Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementrian Keuangan dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pengampunan pajak, dilarang membocorkan, menyebarluaskan, dan/atau memberitahukan data dan informasi yang diketahui atau yang diberitahukan wajib pajak kepada pihak lain.”
Sedangkan dalam Pasal 23 disebutkan bahwa pihak yang melanggar ketentuan dalam Pasal 21 ayat (2) akan terkena sanksi pidana paling lama lima tahun.
"Orang yang berusaha membuka informasi malah dipidana. Ada keterbalikan prinsip-prinsip berkeadilan," tutur Sugeng dalam sebuah konferensi pers di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (10/7/2016).
UU Tax amnesty, lanjut dia, malah mengatur tentang kerahasiaan pengemplang pajak dan bertentangan dengan program Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang Whistleblower serta Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerja sama.
"Sejak UU Tax Amnesty diberlakukan, upaya pemberantasan korupsi di bidang perpajakan serta merta gugur," sambung dia.
Adapun Sugeng bersama yayasannya serta Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) dan empat warga negara berencana menggugat Undang-Undang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) ke Mahkamah Konstitusi.
Gugatan tersebut rencananya akan segera dilayangkan selambatnya 29 Juli 2016 atau usai Presiden Joko Widodo menandatangani UU Tax Amnesty. Pihaknya berencana mengajukan gugatan pada 11 Juli, namun terhalang karena Jokowi belum meneken UU tersebut.
"Kami akan menggugat UU Tax Amnesty karena bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi," tutur Sugeng.