JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi I DPR, Syarief Hasan memandang selama ini Polri cenderung lebih dominan dalam pemberantasan terorisme.
Padahal, menurutnya, jika melihat perkembangan strategi dan teknologi terorisme yang kian canggih, peran TNI lah yang seharusnya lebih menonjol dalam pemberantasan terorisme.
Namun dominasi keterlibatan TNI tersebut, menurut dia, bergantung pada konteks kasus. "Seperti Santoso (gembong teroris) di Poso. Kalau TNI yang bergerak saya kira lebih cepat. Tidak berlarut seperti sekarang," kata Syarief di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (27/6/2016).
"Tidak segan seharusnya di UU Terorisme TNI lebih banyak dilibatkan. Bukan dalam konteks perbantuan," sambung dia.
Soal kekhawatiran banyak pihak TNI akan berlaku represif jika diberi kewenangan lebih, Syarief berpendapat hal tersebut tak akan terjadi sebab segala sesuatunya telah diatur dalam undang-undang.
(Baca: Ini Pasal yang Dianggap Kontroversial dalam Draf RUU Anti-Terorisme)
Hal tersebut, kata dia, telah dibicarakan dalam rapat dengar pendapat dengan pihak-pihak terkait, termasuk dengan Panglima TNI, Jenderal TNI Gatot Nurmantyo.
"Di setiap angkatan ada penanggulangan terorisme. Sayang kalau tidak dimanfaatkan. Kapaaitas dan persenjataan juga bagus. Biasa latihan di hutan belantara," tutur Wakil Ketua Partai Demokrat itu.
Pasal 43B ayat (1) draf RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menyatakan, kebijakan dan strategi nasional penanggulangan Tindak Pidana Terorisme dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, serta instansi pemerintah terkait sesuai dengan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan penanggulangan terorisme.
(Baca: Dalam UU Anti-terorisme, Gerakan Separatis Bisa Dianggap sebagai Teroris)
Sementara itu, ayat (2) menyatakan peran TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi memberikan bantuan kepada Polri.