JAKARTA, KOMPAS.com — Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, menyatakan bahwa Kapolri baru nantinya memikul beban berat untuk memperbaiki citra Korps Bhayangkara.
"Saat ini, publik melihat kepolisian sebagai lembaga nonsipil. Artinya mirip seperti lembaga militer. Padahal, kalau kita lihat undang-undangnya, kepolisian itu bagian dari masyarakat sipil," ujat Arsul saat diwawancarai di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (20/6/2016).
Arsul menilai citra tersebut masih hinggap di tubuh Polri karena selama ini mereka kurang menerapkan prinsip restorative justice dalam penanganan kasus hukum. Arsul menyatakan saat ini Polri masih sering mengedepankan pendekatan yang cenderung koersif.
"Padahal, di negara-negara maju, polisinya sudah menggunakan pendekatan restorative justice. Artinya, sebuah tindak kejahatan tidak langsung diancam dengan hukuman, tetapi dengan mengedepankan aspek perbaikan perilaku," ujar Arsul.
(Baca: Kapolri Arahkan Pejabat Tinggi Polri untuk Dukung Langkah Tito Karnavian)
Dia menambahkan, saat ini sebenarnya kepolisian telah memulai cara tersebut. Salah satunya ialah dengan mengeluarkan surat edaran (SE) dengan Nomor SE/06/X/2015 mengenai ujaran kebencian.
"Di SE tersebut saya lihat Polri sudah mulai menggunakan prinsip restorative justice karena penanganan kasus ujaran kebencian didahului dengan proses mediasi antara kedua pihak," ujar dia.
Arsul pun berharap restorative justice juga diterapkan secara intensif oleh Polri dengan terpilihnya Kapolri baru, terutama dalam tindak kejahatan yang nilai kejahatannya kecil.
"Seperti pada pencurian yang dilakukan anak, misalnya, restorative justice sangat bisa dilakukan," kata Arsul.