JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi, atas putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta terhadap terdakwa Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama, Abdul Khoir.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan putusan lebih berat dari tuntutan terhadap terdakwa penyuap anggota DPR tersebut.
Hakim dinilai mengesampingkan status justice collabolator atau saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum, yang diberikan Pimpinan KPK terhadap Abdul Khoir.
"Kami nyatakan akan banding. Mengapa? Karena Abdul Khoir kami tahu sebagai pelaku utama, tapi saat yang sama konsisten membantu KPK untuk ungkap jaringan di kasus itu," ujar Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarief, di Gedung KPK, Jakarta, Senin (13/6/2016).
(Baca: Hakim Tolak Status "Justice Collaburator" Penyuap Anggota Komisi V DPR)
Menurut dia, KPK tidak ingin saksi pelaku yang bekerja sama mengungkap kasus dan pelaku lainnya, dihukum lebih berat.
KPK juga masih mengharapkan keterangan Abdul Khoir dalam persidangan selanjutnya bagi tersangka lain.
Selain itu, menurut Syarief, Abdul Khoir layak mendapat hukuman ringan karena telah mengakui semua perbuatan dan menyatakan penyesalan atas apa yang telah dilakukan.
"Kami ingin meminta dan berharap banyak kepada pengadilan tingkat kedua. Mudah-mudahan status Beliau (Abdul Khoir) sebagai JC (justice collaborator) diperhitungkan dalam putusan banding," kata Syarief.
Dalam sidang putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (9/6/2016), hakim menjatuhkan vonis 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta bagi Abdul Khoir.
Pada salah satu pertimbangannya, hakim berpendapat bahwa penetapan status justice collabolator yang ditandatangani pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tertanggal 16 Mei 2016, tidak tepat.
Alasannya, karena Abdul Khoir berperan sebagai pelaku utama dalam kasus yang didakwakan kepadanya.
Majelis Hakim menilai Abdul Khoir lebih berperan aktif dalam menggerakkan para pengusaha lainnya untuk memberi suap kepada pejabat di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan sejumlah anggota Komisi V DPR.
(Baca: Jadi "Justice Collaborator", Penyuap Anggota DPR Berharap Pengampunan Hakim)
Dalam surat dakwaan, Abdul Khoir dinyatakan menyuap sejumlah anggota Komisi V DPR, yakni kepada Damayanti Wisnu Putranti (PDI-P) sebesar 328.000 dollar Singapura dan 72.727 dollar AS, kepada Budi Supriyanto (Golkar) sebesar 404.000 dollar Singapura.
Kemudian, kepada Andi Taufan Tiro (PAN) sebesar Rp 2,2 miliar dan 462.789 dollar Singapura dan kepada Musa Zainuddin (PKB) sebesar Rp 4,8 miliar dan 328.377 dollar Singapura.
Selain itu, uang juga diberikan kepada Kepala BPJN IX Maluku Amran HI Mustary, sebesar Rp 16,5 miliar dan 223.270 dollar Singapura, serta sebuah ponsel seharga Rp 11,5 juta.
Pemberian uang tersebut dilakukan oleh Khoir untuk mengupayakan dana dari program aspirasi DPR RI disalurkan untuk proyek pembangunan atau rekonstruksi jalan di Maluku dan Maluku Utara, serta menyepakati dia sebagai pelaksana proyek tersebut.