oleh: Salim Said
Judul di atas adalah tema berita utama di halaman 2 harian Kompas terbitan 27 Mei 2016. Pada alinea pertama berita tersebut terbaca, "Sejumlah kader Partai Golkar yang pernah tersangkut masalah hukum masuk dalam kepengurusan partai itu periode 2016-2019 yang dipimpin Setya Novanto."
Pada bagian selanjutnya (alinea kedua) berita tersebut dijelaskan lebih jauh, "Dari 75 orang yang ditunjuk menjadi pengurus harian Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar yang disusun tim formatur pimpinan Novanto pada Rabu (25/5) dini hari, tiga orang di antaranya tercatat bekas narapidana. Mereka adalah Ketua Harian Nurdin Chalid, Ketua Bidang Olahraga Fahd A Rafiq, dan Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Wilayah Jawa Timur, Sigid Haryo Wibisono."
Di samping secara terinci mengulas keterlibatan dan keputusan hukum yang menempatkan tiga pengurus DPP Partai Golkar itu pada posisi sebagai bekas kriminal, harian Kompas juga mengingatkan pembacanya, "Novanto juga pernah tersangkut kasus dugaan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden untuk minta saham PT Freeport Indonesia pada tahun 2015. Kasus itu membuat Novanto menyatakan mundur dari posisinya sebagai ketua DPR."
Bukan sebuah kejutan
Berita ini amat berguna untuk menyadarkan pembaca mengenai kualitas Partai Golkar, di samping juga bermanfaat bagi pencatatan sejarah perkembangan peradaban politik Indonesia. Akan tetapi, berita ini sama sekali bukan sebuah kejutan.
"Nasib" yang menimpa Golkar itu amat jelas konsisten dengan karakter awal partai tersebut. Rezim Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto telah melahirkan, membesarkan, dan mendidik Golkar menjadi kelompok tanpa idealisme dan karena itu sangat pragmatis.
Sebagai alat kekuasaan Soeharto, Golkar memang tidak diperlukan memiliki idealisme sendiri. Tujuan sudah dirumuskan rezim: tugas tunggal dan misi terpenting Golkar hanya berteriak "setuju" pada semua keputusan penguasa. Menoleransi idealisme dalam Golkar hanya akan merepotkan rezim otoriter Orde Baru.
Dengan latar belakang seperti itulah kita harus mengerti terus berkembang biaknya pragmatisme dalam partai tersebut. Dari dulu sampai hari ini.
Reformasi Golkar (menjadi Partai Golkar) di bawah pimpinan Akbar Tandjung pada awal reformasi terbukti gagal. Ibarat dokter, Akbar Tandjung tidak berhasil mengobati penyakit kronis Golkar yang menjangkiti kelompok politik itu (pada mulanya tidak disebut partai) semenjak kelahirannya. Pragmatisme dalam bentuk mendapatkan kekuasaan dengan segala cara-dulu dengan uang dan kekuasaan, kini melulu dengan uang-ternyata kini sudah merupakan watak melekat pada Partai Golkar.
Menyadari merosotnya pencapaian Partai Golkar pada beberapa pemilu terakhir ini, ketua baru partai tersebut, Setya Novanto , berjanji memimpin partainya mendapatkan 20 persen suara dalam Pemilu 2019. Seperti kita ketahui, pada Pemilu 2014, Partai Golkar hanya mendapatkan 14,75 persen, dan berada di bawah pencapaian PDI Perjuangan, setelah sebelumnya pernah memperoleh suara lebih banyak dari partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu.
Terhadap kecemasan sejumlah pengamat politik menyangkut citra partai rusak karena dipimpin sejumlah tokoh yang pernah atau masih punya persoalan hukum, Novanto dengan yakin menafikannya. "Tidak sampai enam bulan (menjabat) citra Golkar pasti akan membaik. Saya jamin itu," kata Novanto kepada pers setelah ia terpilih memimpin partai tersebut lewat Musyawarah Luar Biasa Golkar di Bali.
Riuh rendahnya kecaman kepada Golkar-sebagai warisan Orde Baru-di awal masa reformasi ternyata tidak berhasil membuat Partai Golkar mengecil menjadi partai gurem. Apalagi hilang tersapu dari panggung politik Indonesia. Bahkan, sejarah mencatat, partai ini pernah menjadi pemenang pemilu pada era awal reformasi. Pengalaman sejarah bertahannya Golkar tersebut mungkin saja berperan meyakinkan para pemimpin Partai Golkar bersepakat memberi mandat kepada Novanto memimpin Golkar, sekaligus memilih beberapa pembantunya yang bekas kriminal.
Ladang penelitian
Melihat kenyataan demikian, yang mungkin penting menjadi topik penelitian ilmuwan politik, terutama komentator terkemuka Golkar akhir-akhir ini, Hanta Yudha, adalah apa sebenarnya yang terjadi dalam masyarakat kita? Bagaimana memaknai fenomena bertahannya Golkar sebagai salah satu partai terbesar Indonesia? Apakah masyarakat Indonesia memang senang pada partai yang pernah menjadi alat pendukung kekuatan otoriter?