KUALA LUMPUR, KOMPAS.com - Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Zulkifli Hasan mengatakan, pengetahuan masyarakat, terutama anak-anak mengenai sejarah Indonesia saat ini sangat minim.
Hal tersebut dikarenakan kurangnya pembekalan wawasan kebangsaan di sekolah-sekolah.
Pernyataan itu disampaikan dalam sosialisasi empat pilar kebangsaan di Sekolah Indonesia Kuala Lumpur, Malaysia.
"Pemuda kita tidak mengerti kita mengalami peristiwa 1965, tidak paham pahlawan kita, tidak hargai simbol negara, karena pendidikan ke sana kurang," ujar Zulkifli di Kuala Lumpur, Rabu (25/5/2016).
Terlebih lagi, Zulkifli mendapat fakta bahwa siswa usia sekolah di Indonesia tak memahami makna Pancasila. Mereka tahu dan hapal lima sila tersebut, namun tidak memahaminya.
"Setelah reformasi 18 tahun ini, ada juga kegalauan kita. Pendidikan kewarganegaraan, wawasan kebangsaan, itu mulai kehilangan ruhnya," kata dia.
Empat pilar yang dimaksud yakni Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bhineka Yunggal Ika, dan Undang-undang Dasar 1945.
Zulkifli mengatakan, Pancasila merupakan pandangan hidup yang kemudian diteruskan ke perilaku masyarakatnya. Kelima sila dalam Pancasila saling terkait satu sama lain.
"Pancasila harus dibudayakan, dijadikan perilaku sehari-hari," kata Zulkifli.
Sementara NKRI dan Bhineka Tungga Ika membentuk pengertian yang satu kesatuan, yakni keberagaman di Indonesia jangan lantas menjadi pembeda.
Setiap warga negara Indonesia memiliki hak yang sama, termasuk menentukan masa depannya.
"Contohnya, presiden kita pengusaha mebel, boleh jadi Gubernur DKI Jakarta, boleh jadi presiden," kata dia.
Zulkifli menyebut Presiden Joko Widodo sepakat membentuk lembaga yang menangani pembentukan karakter kebangsaan sesuai dengan perkembangan jaman.
Di kesempatan yang sama, Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Herman Prayitno berharap sosialisaai empat pilar kebangsaan ini dapat memberi pemahaman kepada siswa pentingnya ideologi Pancasila sebagai pilar menjaga keutuhan NKRI.
Pasalnya, usia anak-anak rentan dengan pengaruh buruk dari luar yang banyak dimanfaatkan kelompok terorisme.
"Sekolah bisa jadi rumah terbuka diseminasi ideologi garis keras. Mereka memanfaatkan dan memperluas jaringannya di kalangan muda," kata Herman.