JAKARTA, KOMPAS.com - Perempuan korban peristiwa kekerasan yang terjadi pasca-1965 hingga saat ini belum mendapatkan hak-hak yang seharusnya dipenuhi oleh negara, seperti hak pemulihan.
Berdasarkan hasil advokasi yang dilakukan oleh Asia Justice and Rights (AJAR) menunjukkan bahwa banyak korban penyiksaan, umumnya perempuan, yang hidup miskin tanpa adanya perhatian dari pemerintah.
Menurut AJAR, mereka telah mengalami tindak kekerasan seperti penyiksaan bahkan pemerkosaan selama proses penahanan sebagai tahanan politik atas tuduhan terlibat gerakan PKI, tanpa pengadilan.
Menurut Direktur AJAR Galuh Wandita, jika pemerintah berniat untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu, maka pengakuan resmi dari negara atas terjadinya penyiksaan di masa lalu adalah langkah pertama dalam memberikan keadilan bagi korban.
Setelah itu, kata Galuh, pemerintah harus mendorong upaya penyembuhan individu terhadap korban dan rekonsiliasi di tingkat masyarakat agar korban tidak mendapat stigma, terutama korban yang dituduh terlibat PKI.
"Rekonsiliasi harus mencerminkan kehendak korban dan memberikan hak-hak korban atas kebenaran, keadilan, reparasi dan jaminan ketidakberulangan," ujar Galuh di Jakarta, Rabu (6/4/2016).
Lebih lanjut ia mengatakan, selain proses rekonsiliasi pemerintah juga harus membuat program rehabilitasi nasional yang memenuhi kebutuhan medis, psikologis dan material.
Kebutuhan korban penyiksaan yang harus dipenuhi antara lain mendapatkan akses perawatan kesehatan, konseling kesehatan mental, penyembuhan trauma, kebutuhan atas mata pencaharian, pendidikan, pelatihan kejuruan, kesempatan kerja dan modal usaha.
"Berdasarkan UU Pengadilan HAM, korban pelanggaran berat HAM punya empat hak, yakni hak atas kebenaran, mendapatkan keadilan, pemulihan dan jaminan tidak berulang," kata Galuh.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.