Oleh: Franz Magnis-Suseno
Akhir-akhir ini kontroversi di negara kita tentang masalah homoseksualitas dan isu seputar LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transjender) menghangat.
Yang mengejutkan adalah penggunaan bahasa yang keras dan ancaman tersembunyi dalam banyak pernyataan. Amat perlu kontroversi ini disikapi sesuai dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab.
Untuk itu, sebaiknya kita membedakan tiga hal: fakta, sikap terhadap fakta itu, dan opsi kerangka hukum.
Homoseksualitas dimaksud sebagai ketertarikan seksual kepada orang yang sama jenisnya dan bukan yang lawan jenis, jadi laki-laki tertarik pada laki-laki dan bukan pada perempuan, dan perempuan tertarik pada perempuan.
Pada 26 tahun lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah mencoret homoseksualitas dari daftar penyakit mental. Kecenderungan homoseks (selanjutnya: homo), tidak dipilih, tetapi dialami oleh yang bersangkutan.
Homoseksualitas adalah kecenderungan alami, ditemukan juga di antara binatang, dan kalau orang-seperti penulis ini-percaya bahwa alam diciptakan, maka homoseksualitas juga tidak di luar penciptaan.
Kecuali dalam orientasi insting seksual ada perbedaan dengan orang lain. Mereka sama baik atau buruk, sama cakap atau tidak.
Karena itu, mau "menyembuhkan" atau "membina" ke jalan yang benar mereka yang berkecenderungan alami adalah tidak masuk akal.
Menyikapi fakta
Bagaimana menyikapi fakta itu? Pertama, kita harus berhenti menstigmatisasi dan mendiskriminasi mereka. Orientasi seksual tidak relevan dalam kebanyakan transaksi kehidupan.
Sebaiknya kita ingat: menghina orang karena kecenderungan seksualnya berarti menghina Dia yang menciptakan kecenderungan itu.
Kedua, orang berkecenderungan homo memiliki hak-hak kemanusiaan dan kewarganegaraan yang sama dengan orang heteroseksual. Sebab, negara wajib melindungi segenap tumpah darah bangsa, maka negara wajib berat melindungi mereka.
Ketiga, hak mereka untuk bersama- sama membicarakan keprihatinan mereka harus dihormati.
Hak konstitusional mereka untuk berkumpul dan menyatakan pendapat mereka wajib dilindungi negara. Amat memalukan kalau polisi kita bisa didikte kelompok-kelompok tertentu. Orang-orang itulah yang menyebarkan intoleransi dan kebencian dalam masyarakat.
Keempat, tahun 1945 bangsa Indonesia memilih menjadi negara hukum, bukan negara agama dan bukan negara adat-istiadat. Dan itu berarti otonomi seseorang dihormati selama ia tidak melanggar hukum.