Menurut Fadli, kecurigaan publik akan berkurang jika revisi UU tersebut diinisiasi oleh pemerintah. Politisi Partai Gerindra ini menuturkan, ketika revisi UU KPK diusulkan oleh DPR, maka persepsi publik langsung negatif. Pasalnya, DPR sering dianggap sebagai pihak yang ingin KPK dilemahkan.
"Kalau mau ada revisi, sebaiknya dari pemerintah, tidak lagi dari DPR. Kalau DPR dianggap punya hasrat melemahkan. Dari pemerintah saja, atau tidak sama sekali," kata Fadli di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (22/2/2016).
(Baca: Hanura: Presiden Anggap Empat Poin Revisi UU Memperkuat KPK )
Di lokasi yang sama, Menkopolhukam Luhut Binsar Pandjaitan belum dapat menyikapi pernyataan Fadli. Saat ini pemerintah hanya ingin melakukan sosialisai kepada masyarakat terkait revisi UU KPK.
"Masih ada waktu banyak, tidak usah buru-buru," ungkap Luhut.
Mantan Kepala Staf Kepresidenan itu menuturkan, tidak ada batasan waktu sampai kapan revisi UU KPK ditunda pembahasannya. Pembahasan revisi UU itu akan dilakukan setelah waktunya tepat dan tidak ada lagi penolakan dari masyarakat.
(Baca: Ini Alasan Pemerintah dan DPR Tunda Revisi UU KPK)
"Tidak ada (batas waktu penundaan), tapi kita sepakat kita harus tetap lakukan untuk kebaikan negeri ini," ujarnya.
Revisi Undang-undang KPK menuai penolakan dari publik karena dianggap akan melemahkan pemberantasan korupsi.
(Baca: Jokowi dan Pimpinan DPR Sepakat Tunda Revisi UU KPK)
Adapun empat poin substansi revisi adalah pembentuka dewan pengawas, kewenangan menerbitkan SP3, penyidik independen, dan perubahan mekanisme penyadapan.
Para pegiat antikorupsi menilai keberadaan dewan pengawas akan menggerus independensi KPK dan menciptakan dualisme kepemimpinan.
Sedangkan kewenangan menerbitkan SP3 dikawatirkan akan dimanfaatkan oknum untuk melakukan "permainan" dalam kasus yang ditangani.