Oleh: Ani Soetjipto
Harian Kompas , pada 11, 12, dan 13 Januari 2016 menyajikan ulasan tentang pemilihan kepala daerah serentak yang berlangsung 9 Desember 2015.
Dalam ulasannya, Kompas menyatakan terjadinya perubahan pola kepemimpinan di daerah dengan kecenderungan peningkatan pemimpin usia muda dan berjenis kelamin perempuan.
Kompas juga mencatat terjadinya pergeseran ke arah "kedewasaan" dan kematangan dari pemilih yang menginginkan adanya perubahan dari situasi yang mereka hadapi pada hari ini.
Masyarakat memberikan sinyal bahwa mereka menunggu pemimpin merakyat, mampu bekerja cepat, dan kerinduan itu semakin didorong karena adanya contoh kepala daerah yang dapat membawa perubahan di daerahnya.
Fenomena tersebut menjelaskan mengapa banyak kandidat petahana yang kalah atau tidak dipilih dalam pemilihan kepala daerah serentak.
Masyarakat mengalami kejenuhan atas prestasi yang biasa-biasa saja dan menginginkan perubahan yang lebih nyata.
Pilkada dan demokrasi
Referensi tentang pemilu dalam konteks demokrasi biasanya berargumen bahwa pemilu adalah ajang penting untuk terpilihnya pemimpin lewat prosedur demokrasi yang dilakukan dengan cara-cara yang akuntabel.
Lensa pandang seperti ini memandang bahwa pemimpin yang terpilih telah melalui cara dan jalan demokratis karena mereka harus meyakinkan pemilih mengapa mereka harus dipilih dengan tawaran program dan janji yang akan membuat pemilih tertarik untuk memilih atau tidak akan memilih mereka.
Cara pandang ini hanya melihat rakyat pemilih sebagai penonton pasif, seperti kontes atau pertandingan.
Siapa pun yang memenangi pemilihan, kebijakan yang diambil tak akan ada urusannya dengan kehidupan rakyat karena pemimpin sesungguhnya mewakili partai pengusungnya.
Ketika pemilih dipandang sebagai penonton pasif, maka pilkada menjadi ajang sirkulasi elite yang berputar di kalangan kelompok terbatas.
Sentralisasi kekuasaan kepada kelompok kecil, seperti itu sering disebut sebagai oligarki. Oligarki bentuknya bisa beragam. Di Indonesia, oligarki bernuansa kekerabatan dan kelompok bisnis masih mendominasi wajah pemimpin baru hasil Pilkada 2015.
Persoalan lain dalam pilkada adalah politik uang. Pemilih tidak akan merasakan kemenangan atau kekalahan karena sesungguhnya yang merasakan kemenangan atau kekalahan adalah sponsor yang berada di belakang layar, yaitu para penyandang dana dan kelompok yang memiliki kekuatan finansial yang mensponsori para kandidat.