Dengan kata lain, partisipasi dalam pemilu hanya dimaknai sebagai memilih pemimpin yang "baik" tanpa agregasi dandeliberasi kepentingan.
Dampaknya adalah penguatan oligarki partai politik yang makin membuat timpang relasi antara pemimpin dengan masyarakat pemilih.
Lensa pandang lain, yang jarang disuarakan oleh para pengamat pemilu dan mereka yang menekuni studi tentang kepemiluan, adalah memaknai pilkada sebagai arena untuk penguatan pendewasaan kewargaan.
Menjadikan pemilu sebagai ajang yang bisa berdampak kepada distribusi sumber daya yang berkeadilan bagi masyarakat.
Makna simbolik menjadikan pemilih berdaya sebagai warga negara adalah arena penting yang harus terus disuarakan dan diperjuangkan.
Pemilu adalah ajang di mana harapan diletakkan bagi perubahan kondisi dan situasi, terutama untuk kalangan yang tersisih dan tidak beruntung yang berharap kondisi hidup mereka lebih baik lewat perubahan kebijakan/legislasi sebagai hasil proses pemilihan demokratis.
Pertanyaannya adalah bagaimana memperkuat posisi tawar rakyat dalam pilkada? Hubungan relasional seperti apa yang harus dibangun antara konstituen dengan kandidat pemimpin dalam pilkada?
Kita tahu bahwa tindakan memilih/mencoblos dalam pilkada sejatinya merupakan tindakan merdeka, yang dalam teorinya seharusnya lepas dan bebas dari pengaruh siapa pun, baik individu lain atau kelompok di mana mereka selama ini berafiliasi.
Pilihan individual itu ketika diagregasikan dan dijumlahkan menghasilkan suara terbanyak. Suara terbanyak adalah basis bagi terpilihnya pemimpin baru.
Dalam literatur, pemimpin ini dianggap merepresentasikan pemilih. Referensi klasik memaknai representasi melalui agregat statistik bukan berdasarkan agregat kepentingan dan identitas.
Situasi inilah yang digugat. Keragaman identitas dan kepentingan masyarakat hilang dalam kontes pilkada.
Partai dalam pilkada baru sebatas bisa menyediakan paket kandidat yang disodorkan kepada para pemilih tanpa menyediakan menu tawaran program bagaimana menjawab tuntutan kepentingan konstituen dengan identitas yang beragam.
Yang dibutuhkan adalah program kerja setelah terpilih yang bisa merespons kebutuhan konstituen. Dalam pilkada, yang terekam hanya foto kandidat dalam bentuk baliho yang tersebar, tetapi misi dan program konkret apa yang ditawarkan kandidat jika terpilih tidak terdengar.