Sejumlah perubahan yang diatur dalam naskah akademik berbeda atau bahkan tidak ada dalam draf yang kini telah disepakati oleh DPR.
Dalam naskah akademik yang didapat Kompas.com dari Badan Legislasi DPR, Selasa (16/2/2016), disebutkan bahwa izin penyadapan yang dilakukan KPK harus melalui ketua pengadilan.
Hal ini untuk mencegah agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dalam penyadapan yang dilakukan KPK.
Kesewenang-wenangan itu jika penyadapan dilakukan terhadap pihak-pihak yang belum dilakukan proses pro justicia atau proses penyidikan.
Padahal, draf RUU KPK Pasal 12 yang sudah disepakati saat ini mengatur bahwa penyadapan harus seizin dewan pengawas.
Dalam naskah akademik masih diatur kewenangan penuntutan KPK.
Dijelaskan bahwa penuntutan yang selama ini sudah menjadi salah satu kewenangan KPK perlu dihilangkan dan dikembalikan menjadi kewenangan kejaksaan.
Dengan begitu, tidak terjadi tumpang tindih antara KPK dan kejaksaan.
Sementara, dalam draf revisi yang sudah disepakati sejauh ini, tak diatur mengenai wewenang penuntutan KPK.
Dalam naskah akademik juga masih diatur mengenai pelimpahan kasus dari KPK kepada Kepolisian atau Kejaksaan. Pelimpahan ini dilakukan apabila kasus yang ditangani KPK ternyata memiliki kerugian negara kurang dari Rp 1 miliar.
Sementara, Pasal 11 huruf c UU KPK mengatur bahwa KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang menyakut kerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar.
Selain itu, draf yang telah disepakati juga tak mengatur mengenai pelimpahan kasus.
Memang berbeda
Pengusul revisi UU KPK Risa Mariska mengakui perbedaan naskah akademik dengan draf revisi yang saat ini sudah disepakati.