Menurut dia, hal tersebut terjadi karena naskah akademik tersebut sudah dibuat oleh pengusul sejak Oktober 2015 lalu.
Setelah itu, muncul berbagai perkembangan sehingga poin-poin yang akan direvisi dalam UU KPK berubah.
"Pada saat itu ada 8 poin yang akan diubah. Setelah ada pembahasan, ramai kan. Setelah ramai itu kita evaluasi, dengar masukan berbagai pihak, jadilah hanya empat poin," kata Risa di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (16/2/2016).
Politisi PDI-P ini, menilai, naskah akademik tersebut tidak perlu diperbarui dan disesuaikan dengan draf RUU yang sudah disepakati saat ini.
Sebab, naskah akademik itu hanya merupakan sebuah landasan awal.
"Enggak masalah itu kan (berubah) setelah pembahasan, artinya legal standing sudah ada, dasarnya sudah ada," ujar dia.
Risa mengatakan, bukan tidak mungkin pembahasan revisi UU KPK akan kembali melebar selama masih mengikuti naskah akademik yang ada.
Jika pembahasan di Baleg menyepakati bahwa penuntutan KPK perlu dihilangkan dan dialihkan ke Kejaksaan, kata dia, maka hal tersebut bisa saja direalisasikan.
"Itu tergantung pembahasan di Badan Legislasi DPR. Barang ini kan sudah di Baleg, bukan lagi di pengusul," kata Risa.
Pelemahan
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Lucius Karus menilai, tak sinkronnya naskah akademik dan draf RUU KPK ini menjadi bukti lain upaya pelemahan KPK.
Pelemahan KPK tidak hanya tergambar pada pasal-pasal yang akan diubah, tapi juga proses pembuatan RUU itu sendiri.
Menurut dia, draf RUU seharusnya selalu mengacu pada naskah akademik yang biasanya berisi kajian teoritik tentang prinsip-prinsip dasar yang ingin diatur melalui RUU tertentu.
Naskah akademik merupakan basis teoritik sementara draf merupakan operasional dari teori yang dituangkan dalam bentuk aturan-aturan teknis RUU.
"Jadi mestinya antara kaidah teoritik dalam Naskah Akademik dengan draf-draf peraturan dalam RUU sedapat mungkin sinkron karena draf dibikin berdasarkan NA," kata Lucius.
Jika ditemukan adanya ketidaksinkronan antara naskah akademik dan draf RUU KPK, lanjut Lucius, maka itu hanya menegaskan betapa muatan kepentingan partai pengusul untuk melemahkan KPK sangat besar dalam revisi ini.
Ia mengatakan, mungkin saja penyusun naskah akademik adalah pihak lain yang berbeda dari penyusun draf dan tak mengacu pada naskah akademik.
"Intinya kepentingan yang kuat dari partai membuat konsep teoritik sebagai acuan menjadi tak penting. Partai sudah bersikap dan berpendirian tertentu sebelum naskah akademik mereka buat. Jadi kepentingan sepihak parpol yang menjadi rujukan revisi, bukan konsep ilmiah yang tertuang melalui naskah akademik," papar Lucius.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.